Laman

Kamis, 24 November 2016

Rumah Horor Katanya



kisah ini kutulis saat aku mengikuti P2M di Cianjur *Gak ada yang nanya -_-
selamat membaca :)

 “Tengg!!!” bunyi jam itu memecahkan keheningan di rumah tua yang baru saja kutempati. Rumah dengan arsitek bangunan tua, memiliki tiga ruangan besar, lantai yang masih alami tanpa keramik hanya lapisan semen yang sudah dihaluskan, jendela yang hampir menjadi dinding dengan kusen yang sudah digerogoti rayap, walaupun seperti itu bangunannya telihat kuat. Kami berenam, bersama rumah tua yang menjadi tempat istirahat kami ketika kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berlangsung.

Lukisan seorang kakek yang sudah sepuh tertempel di dinding ruang tengah. Ruang tengah yang luas tanpa kursi, hanya ada meja kecil yang di atasnya ada televisi 24 inci. Dua kamar tidur yang bisa dilihat di ruang itu. Kamar pertama sungguh gelap, karena lampu kamar terjadi konslet. Di kamar itu hanya ada satu ranjang model ranjang bertingkat, namun ranjang di atasnya tidak di pasangkan. Dua lemari pakaian tersusun di setiap pojok kamar, jendela kamar dengan dua penutup. Yaitu dari kayu yang mnghadap keluar dan dari kaca yang menghadap ke dalam.

Setelah semua tas bawaan kami di simpan di kamar tersebut, kami beranjak untuk melihat kamar kedua. Sungguh berbeda dengan kamar yang pertama. Kamar dengan nuansa pink ditempeli gambar-gambar Doraemon dan Hello Kitty yang sangat lucu. Aku bisa menebak ini adalah kamar anak dari pemilik rumah. Dan sepertinya ada dua anak perempuan di kamar ini.

Hari pertama, kami bingung harus ngapain. Pada akhirnya ketua dari kami mengajak untuk membersihkan kamar mandi dengan ukuran yang luas. “Kita bersihin kamar mandi yuk!” seorang gadis yang usianya satu tahun di atas kami berlima mengajak untuk membersihkan kamar mandi. Yah itulah Teh Najmah, seorang teteh strong. Hehehe.

“Ayo teh!” Jawabku bersemangat. Kemudian diikuti yang lainnya. Kami melangkah beriringan menuju kamar mandi. Yah kamar mandi. Ukurannya luas, di samping pintu aku melihat sebuah sumur untuk menimba air, aku pikir kedalaman sumur ini tidak terlalu dalam. Di samping sumur ditu ada sebuah bak kecil berukuran sekitar sehasta dengan bentuk seperti kubus. Kami saling pandang, yeah aku tahu maksudnya. Ayo kita bersihkan bak itu. Bak yang terlihat kotor karena mungkin sudah lama tidak digunakan sang pemilik.

“BUGGHHH!!” Aku mulai melempar ember bertali ke dalam sumur itu. Bukan untuk membuang embernya tapi untuk mengangkut air yang ada di dalam sumur itu. Berat sungguh, karena baru merasakan menimba air lagi setelah sekian lama terbebas dari pekerjaan yang menguras tenaga seperti ini. Kulihat teh Najmah mulai menggosok-gosok bak kecil itu dan waw spektakuler kotornya. Aku masih berkonsentrasi dengan pekerjaan menimba air.

“Teh biar aku bantu menyikat baknya dengan sapu lidi ini.” Kata seorang tim sukses kami, dia adalah Milah alias Siti Jamilah. Milah naik ke atas bak dan menyapu-nyapu *nyapu air, hingga menghasilkan air kotor. Teh Najmah berganti posisi, kini dia tengah menggosok-gosok dinding luar bak. 

“Mending salah satu dari kalian menyapu rumah gih!” Kata teteh kami memberi komando. “Oke teh biar aku saja.” Kata seseorang yang bernama Cucu (perempuan) dengan antusias. Aku lelah dan akhirnya bergantian menimba ilmu *eh, air maksudnya, dengan salah satu sahabatku yaitu Yuliawati.  Lucu memang, kami sekarang terlihat seperti keluarga baru yang sedang menempati rumah barunya.

Jam 15.00 teng, tepat sekali kami selesai membersihkan kamar mandi,kami beranjak ke ruang tengah untuk beristirahat sejenak sebelum nanti kami mengajar ngaji anak-anak di madrasah. Ternyata benar tidak lama kami melepas penat, adzan ashar pun segera berkumandang dan kami harus bersiap-siap pergi ke madrasah untuk mengajar di sekolah diiniyyah. Mengajar pun dimulai. Anak-anak yang masih sekolah SD itu sangat antusias dan semangat menerima materi dari kami, aku juga semangat moto-in mereka. Ya, saat itu aku diberi tugas oleh teh Rahayu sebagai tukang foto alias dokumentasi. Sangat menyenangkan.

Proses belajar mengajar pun selesai sekitar lima menit sebelum maghrib. Kami juga memebritahukan kepada anak-anak untuk mengikuti pelajaran selanjutnya setelah shalat maghrib, yaitu hafalan surat al-‘Adiyat. Aku, Yuli, Cucu mengajar sistem talqin dengan cara membacakan ayat kemudian diikuti anak-anak dan terus diulang-ulang hingga sampai tiga ayat. Sementara teh Najmah harus mewakili wilayah kami ke pusat atau wilayah utama untuk mengikuti pengarahan atau breafing atau apalah namanya aku lupa lagi. Dua kawan kami lainnya, Iis dan Milah memasak untuk makan malam kami. Yeah pembagian tugas yang baik dari teteh kami.

Selesailah mengajar hingga ba’da Isya. Anak-anak pulang ke rumahnya masing-masing dan kami.. kami juga pulang ke rumah tua itu. Jarak dari madrasah ke rumah yang kami tempati cukup dekat sehingga cukup berjalan kaki saja tak perlu pakai motor ataupun angkot. Kolam. Di pinggir rumah itu ada kolam ikan, sudah ya tak perlu dibahas lebih lanjut. Rasanya gerah sekali hari ini, aku memberanikan diri untuk mandi di malam hari. Makanan sudah siap dihidangkan di atas tikar di ruang tengah. Aku melihat ada mie di csmpur telur di dalam baskom kecil dan tentu saja kerupuk makaroni yang pedas sepedas-pedasnya.

“Hah ada ular!!” Kataku kaget. Sugestiku mengatakan malam ini adalah malam jum’at dan ada ular, udah gitu aja.

“teteh tidak tahu ya, tadi ada ular di sana – nunjuk ambang pintu ke dapur – lalu masuk ke bawah mesin cuci dan nggak keluar lagi.” Jelas Milah.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, aku dan Yuli saling tatap.

“Tengg!!!” Jam dinding itu mengagetkan lagi. Deg! Jantung kami masing masing berdegup shock. Aku tahu, kami mencoba menghilangkan sugesti masing-masing dan menundukkan pandangan *maksudnya menunduk karena memandang makanan yang sudah siap di hadapan kami. Lengang kembali menyelimuti suasana malam,, Jum’at. #ku keukeuh. Walaupun sudah hampir jam setengah sembilan malam, kami belum menyentuh makanan itu, karena kami harus menunggu teteh kesayangan kami. Kami tidak mau makan tanpa kehadirannya, karena itu sangat tidak sopan, kami harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.

“Ada yang punya obat sakit kepala?” Tiba-tiba Cucu merasakan sakit di kepalanya.

Kami hanya menggeleng karena memang tidak ada yang membawa obat sakit kepala.
“Yaudah sms teh Najmah saja buat ngambil obat di sana.” Usul Yuli masuk akal.
“Tapi aku belum punya nomer  si teteh.” Kataku.
“Ini aku ada.” Yuli menyebutkan nomor tri-nya teh Najmah. Kemudian aku mengetikkan sms.

Aku: Teh, Cucu minta obat sakit kepala cnah.
Teh najmah bspi: oke sayang, bentar ya.
Teh najmah bspi: obat pusing atau antimo?
Aku: antimo boleh teh. – hasil diskusi aku dkk di rumah –
Teh najmah bspi: kalian udah pada makan?
Aku: belom teh, kami nungguin teteh J.
Teh najmah bspi: jangannnnnn.. kalian makan aja duluan.
Aku: yaudah teh kami makan duluan.
Teh najmah bspi: oke.

Itulah percakapan singkat di sms antara aku dan teh Najmah, kurang lebih sms nya seperti itu, karena aku tidak bisa menuliskan sms yang aslinya, karena sudah dihapusan. Padahal selera makanku sudah hampir hilang karena peristiwa ular itu yang mengganggu pikiran, lagi-lagi sugesti itu muncul. Daripada nanti perutku perih lagi mending makan aja paksain, aku makan sepiring berdua dengan Yuli, karena alasan Yuli yang nggak mau banyak piring kotor cenah.

Setelah makan kami tidak langsung tidur dan jeng jeng, tak lama kemudian teh Namah datang membawa pesanan *antimo maksudnya. Teteh kami makan dengan lahap mie bagiannya yang sudah kami pisahkan terlebih dahulu, sambil kami ceritakan soal kedatangan ular yang tiba-tiba itu. Setelah itu siap-siap menggosok gigi sebelum tidur.

“Ayo ada yang mau sikat gigi bareng teteh!” Ajaknya.
“Ayo teh.” Sahutku antusias.
Kami berjaln beriringan, teh Najmah berjalan di depanku, dan...............
“Astaghfirullaah..”
“Apa teh?” Kataku penasaran sambil kaget.
“Ular.”

Deg. Seketika itu aku balik kanan, bubar jalan. Aku mengurungkan niat untuk menggosok gigi, karena ular kecil itu sudah ada di ambang pintu kamar mandi.

“Nggak mau teteh, Reni mah nggak mau sikat gigi ah. Besok pagi aja weh.” Kataku ketakutan.

“Ayolah siapa yang mau ke air bareng teteh.” Si Teteh masih bersikeras. “Nanti ularnya di usir sama teteh.”

Tidak ada yang mau. Hingga akhirnya Cucu mau ke kamar mandi bareng teh Najmah. Dan sepertinya tidak terjadi sesuatu diantara mereka. Tidak ada ular lagi. Alhamdulillaah, syukurlah. Yang ditakutkan adalah bagaimana jika ular itu masuk ke kamar tidur kami. Itu adalah hal yang sangat membahayakan bukan? – oke stop! Jangan cerita itu lagi.

Malam pertama, kami tidur pulas. Tidak ada yang mengganggu istirahat kami. Kemudian kami bangun setelah adzan shubuh. Astaghfirullah, kami tidak jadi qiyamul lail, mungkin karena terlalu kelelahan hingga terlelap dalam sepi. Seperti biasa, melaksanakan shalat shubuh berjama’ah, sebagaimana perintah teteh tercinta. Aku, Iis dan Cucu shalat shubuh berjama’ah dengan Iis sebagai imam kami. Aktifitas selanjutnya membaca al-ma’tsurat dan membaca al-Quran.

Setelah itu dibimbing teh Najmah membaca surat al-Jumu’ah dan surat Kahfi. Stelah kegiatan ruhaniah kami selesai, saatnya sarapan pagi. Wuihh, tanpa disangka ternyata sarapannya roti dan susu cokelat, hmmm nyammmyy. Cokelat panas menemani pagi yang dingin.

“Ayo setelah ini gantian mandinya, kita siap-siap olahraga bareng anak-anak.” Ucap teh Najmah.

Kami harus menuruti apa kata pemimpin kami. Karena pemimpin kami menyeru kepada ke ma’rufan dan mencegah kemunkaran. Antum khoiru ummat.. Yuli mengambil alih sebagai peserta mandi pagi pertama. Sementara yang lainnya menunggu setia.

“Tengg!!” sudah satu jam si Yuli nggak selesai-selesai, pikirku. Dan ternyata dia dengan santainya menjawab, “Nyuci piring dulu.” Yaelah.

Singkat cerita.
Jam delapan jadwalnya olahraga bareng anak-anak Diiniyyah. Olahraga pagi ini dipimpin oleh teh Najmah dengan menyanyikan sebuah lagu ‘Head Shoulder.’ Gini lagunya:

‘Head shoulder knees and toes,, knees and toes. Head shoulder knees and toes eye ear mouth noose.’ (gatau sih aku gabisa nulis inggrisnya) Sambil menunjuk nama-nama yang disebut dalam bahasa Inggris tersebut. Lucu teh. Setelah itu, anak-anak disuruh menggambar kaligrafi  kemudian acara selanjutnya membuat puding bareng-bareng *padahal yang bikinnya mah si teteh aja.

Aku dan Cucu menyempatkan diri untuk jajan Jasuke (jagung susu keju) dulu karena kabita ku anak-anak. Sesampainya di rumah itu, aku mendengar suara orang yang berbeda. Ya, itu adalah suara utusan dari wilayah pertama yaitu teh Mida sedang mengkondisikan anak-anak.

Waktu terus berjalan hingga sore menjelang lagi, kami mengajar anak-anak lagi dan selepas itu, aku dkk – tanpa teh Najmah, karena bertugas -  sedih! Mencari tukang baso. Ternyata sulit juga nyari tukan baso di daerah ini hingga kami kukulintingan dan mendapatkannya di rumah tetangga yang agak jauh. Yasudahlah yang penting dapet, hingga maghrib menjelang dan kami pulang di madrosah ada teh Najmah dan teh Adis. Yaudah kami makan baso dulu karena kami sepakat malam ini tugasnya kang Irfan mengajar tahfidz itu, kami pun datang terlambat, sudah direncanakan.

Oke malam kedua. Seperti biasanya teh Najmah yang bertugas ke pusat untuk mencari informasi. Kejadian tragis akan segera dimulai. Hari ini air sumur mulai menyusut, airnya keruh. Terpaksa kami harus ikut mandi ke pusat. Tapi aku dan Yuli berfikir untuk tidak pergi ke pusat, males. Kami ingin tetap mandi di rumah wilayah dua ini, padahal air sumur itu sudah keruh. Aku dan yuli mencari alternative baru.

“Uli, gimana kalau kita ambil air  pakai selang aja?” Usulku.
“Hayu aja,”

Aku dan Yuli mulai menarik selang yang terhubung dengan kamar mandi melalui celah jendela atas kamar mandi.

“Tapi kamu yang ke sanainnya.” Kata si Yuli.
“Iya sok.” Kataku ragu-ragu karena melihat masih pagi banget terus harus melalui kebun gitu. Dengan malas kulangkahkan kaki untuk menghubungkan selang ke tempat wudhu di masjid. Ketika aku tarik dan menengok ke belakang ……………………………………………………………………………

Oh Tuhan! Aku melihat kendaraan akhirat. Deg! Aku gemeteran, Tuhan kejutan macam apa ini. Pikirku. Aku segera bergegas dengan dalih bahwa selangnya gak nyampe.

“Uli da selangnya juga gak nyampe.” Kataku setengah berlari.
“sepertinya harus ditarik lagi, di dalam masih ada segulung selang kan.”
“Nggak ah, aku nggak mau.” Kataku ketus.
“Hayu lah, sedikit lagi. kamu tarik dari luar.”
“Tapi kamu yang ke sananya.” Kataku lagi yang nggak mau balik ke kebun tadi.
“Iya, nanti uli yang ke sanainnya.” Yuli menyerah.

Akhirnya Yuli menarik selang itu dan kini dia sudah melewati kendaraan akhirat itu. Aku pikir Yuli tidak sadar, eh ternyata dia yang lebih dulu tahu tentang alat itu. Makanya dia menyuruhku untuk lebih dulu ke sana. Dasar menyebalkan. Tapi anehnya, ketika kejadian yang menurut kami horor gitu, kami malah tertawa ngakak. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Tapi kami sadar tingkah kami yang menggelikan – oke stop. Ternyata tetap saja selang itu gak nyampe tempat wudhu. Dengan pasrah kami menngulung kembali selangnya.

“Satu-satunya cara lagi adalah kita langsung ngambil air dari sana pakai ember ini.” Aku mengusulkan alternative kedua sambil menunjuk dua ember yang ada di rumah.

“Okelah.” Yuli yang akhirnya pasrah.
Kami pun mengambil air menggunakan ember, berat sungguh hingga telapak tangan kami kesakitan. Tapi tak apalah demi seember air agar bisa mandi.

Yosh, semuanya sudah beres dan rapi, tinggal ke pusat bareng anak-anak untuk mengikuti perlombaan. Hingga perlombaan itu selesai dan aku bersama Yuli pamit pulang duluan karena ada sesuatu hal yang membuat kami harus pulang setelah dzuhur.

Aku tidak tahu cerita selanjutnya di rumah itu. Aku hanya mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah walaupun tidak sempat bertemu. Dan ternyata isu-isu tentang rumah horor itu tidaklah seratus persen benar. Karena itu hanyalah sugesti diri kita masing-masing. J

#the end

Ren Murasaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar