BIG BAD BAD BAD BAD STALKER
By: Ren
Jadi gini, kisah ini dimulai ketika planet Bandung dihebohkan dengan kedatangan bazar buku terbesar, namanya BIG BAD WOLF (BBW). Yang lope lope sama buku pasti nggak akan asing dengan nama BBW, yakin deh kamu juga pasti tahulah, kalau nggak tahu ya pura-pura tahu ajalah, kalau nggak tahu juga ya pura-pura tempe aja, kalau masih nggak tahu juga pergi sana ke Sumedang tempatnya para pengeTAHUan.
BBW ini diselenggarakan pada tanggal 28 Juni sampai 8 Juli 2019, tempatnya di hotel Mason Pine yanga ada di Kota Baru Parahyangan. Dooong secara, aku sebagai salah satu pengabdi buku, atau lebih tepatnya semacam BIBK (Beli Iya Baca Kagak) kan penasaran banget. Sumvah penasaran setengah mampus saat itu. Aku pikir ini adalah momen di mana nanti aku bakalan ngeliat surga buku di sana, oh my dear, I wanna go there. Lalu kutunggu bila nanti saatnya tlah tiba untuk pergi ke BBW.
Waktu pun berlalu melesat seperti kunai yang dilemparkan Sasuke. Tibalah pada tanggal 5 Juli 2019, aku dan teman-teman se-aliansi berencana untuk berkunjung ke istana si Bad Wolf itu. Sekitar jam tujuh pagi lah aku dan ketiga temanku (sebut saja Thia, Nurul dan Fajrin) berangkuys ke Kota Baru. Semangat 100% kalau soal walk-walk mah. Kebetulan rumah kami berjauhan jadi kami berempat bertemu di Dayeuhkolot untuk nantinya berangkat bareng ke terminal Kebon Kalapa. Maklumlah kami ingin cari aman berangkat naik angkot, soalnya kedua temanku tak berani bawa motor ke daerah sana. Katanya polisi daerah sana galak-galak cuuuyyy..
Yang lebih dulu sampai di Dayeuhkolot saat itu Thia dan Fajrin, karena jarak dari rumahnya tak terlalu jauh juga. Kemudian disusul Nurul dan aku yang hampir datang bersamaan. Kami pun melanjutkan perjalanan naik angkot sampai ke terminal Kebon Kalapa. Di sana kami harus berjalan (sebenarnya bisa naik angkot cuma kami aliansi iriters milih jalan kaki saja) menuju alun-alun Bandung. Tahu kan alun-alun Bandung? Yang ada rumput-rumput sintesis nya itu loh yang suka dipake rangorang untuk berpoto ria. Tidak terlalu jauh juga sih jaraknya sampai kami berani berjalan ke sana. Dan di perjalanan tuh kita bener-bener mesti memiliki pandangan lurus ke depan. Yaa soalnya kalau tengok kiri-kanan bakal menemukan godaan-godaan dunia shopping yang terkutuk setingkat gawat darurat.
Sesampainya di alun-alun kami naik bus kota agar sampai di Kota Baru. Bau segar-dingin AC bus menyeruak di kulit, masuk ke daging dan menembus tulang belulang sejak pertama kali ku injakkan kaki di tangga bus. Hening, busnya kosong dan hanya ada SATU orang duduk di barisan paling depan deket pintu keluar-masuk bus. Seonggok manusia berjenis kelamin laki-laki duduk di barisan paling depan, dia memakai jaket biru tua, celana sontog (apa ya kayak jeans belel gitu panjangnya selutut) dan seuntai kabel earphone yang dipasang di kedua telinganya and I don’t know apa yang sedang di dengarkannya dan I don’t care about that, ok.
Kami berempat langsung mencari posisi duduk. Kami berempat pun lebih memeilih duduk di barisan depan, katanya si Nurul biar bisa nanyain arah ke si mamang bus. Awalnya Nurul dan Thia duduk di barisan kedua sejajar dengan mamang supir, sedangkan aku dan Fajrin memilih duduk di barisan kedua sejajar dengan seonggok laki-laki yang duduk di barisan depan tadi. Biasalah kami wefie dulu di bus lah biar kek orang-orang, basa-basi busuk, canda-canda gajelas, ketawa ketiwi absurd dan tingkah konyol lainnya hingga muncul dua penumpang lain yang kemudian duduk di kursi yang asalnya di tempati Thia dan Nurul yang kemudian sekarang sudah berada di belakang aku dan Fajrin. Kalau digambarkan tempat duduk nya seperti ini:
Seonggok laki-laki + kosong
Aku dan Fajrin
Thia dan Nurul
Berangkatlah Tayo menuju Kota Baru. Karena ragu takutnya ini bus nggak sampai ke BBW, aku pun bertanya ke mamang supirnya.
“Mang, nanti turunnya di deket hotel Mason Pine ya!”
“Oh iya iya, di pameran buku ya. Nanti juga kelewatan.”
Secara si mamang angkot yang sudah maha tahu ini bilang lagi kalau bus nya akan sampai di sana pukul Sembilan, okelah tak apa-apa. Di perjalanan kami ngobrol-ngobrol ke sana ke mari kayak yang baru menemukan secercah kebahagiaan gitu, soalnya ini momen buat ngelepas penat di musim liburan. Penumpang pun mulai bertambah seiring perjalanan berlangsung.
Sekitar kurang lebih pukul Sembilan, Tayo berhasil sampai di TKP. Ternyata nggak hanya kami yang mau mengunjugi BBW, ada beberapa orang yang turun bersamaan dan menuju hotel Mason Pine, termasuk si seonggok laki-laki tadi. Kami beempat pun segera mencari jalan masuk ke dalam bangunan bertingkat itu. Para penjaga pintu surga buku pun memeriksa tas setiap pengunjung dan memperingati agar tidak minum di ruangan jika menjumpai ada botol minum di tas pengunjung.
Setelah melewati tahap pemeriksaan, kami langsung memburu para buku-buku yang sudah ditata bertumpuk menggunung. Memang sih kebanyakan buku-buku luar yang berbahasa Inggris, namun ada juga yang berbahasa Indonesia. Saat melihat para buku, aku mulai curiga kalau bukunya sudah hamper habis meskipun masih menggunung. Aku dan ketiga kawanan aliansi langsung memburu bagian buku-buku fiksi. Niatnya mau nyari novel barangkali ada yang cocok. Aku kalau lihat buku banyak suka lupa diri dan lupa sekitar, sampai-sampai aku terpisah dengan ketiga kawanku. Pokoknya setiap stand aku kunjungi kecuali stand buku-buku berbahasa Inggris.
Ketiga temanku masih mencari-cari di stand yang lain, aku pun semakin menjauh dari mereka. Tak berapa lama aku mendapatkan beberapa buku yang sekiranya pengen dibeli. Kemudian aku terkejut karena kehilangan tiga kepala kawanku, aku berpikir mereka mungkin sedang berkeliling nyari buku. Aku pun kembali menyisir buku-buku bertumpuk itu. Selang beberapa menit, tiga kawanku menjumpaiku dan terlihat sangat mengkhawatirkan. Dengan nafas yang masih terengah Nurul berbisik kepadaku.
“Nyaho teu lalaki anu tadi sa-bus jeung kita anu make calana sontog, nunutur arurang wae. Urang sieun, melongkeun wae bari sura seuri.”
“Wah aslina, naha urang teu sadarnya.” Kataku sedikit shock.
“Aslina, tadi arurang nepi ka nyumput di mushola da sieun dituturkeun wae.” Fajrin menimpali.
Intinya si seonggok laki-laki tadi berevolusi menjadi penguntit dan mengikuti sambil mengawasi ketiga kawanku. Saking takutnya mereka sampai bersembunyi di mushola dan mengkhawatirkan aku yang terpisah sendiri, katanya takut diculik sama si penguntit tadi. Di sanalah aku baru sadar dan memperhatikan satu persatu ekspresi kawanku. Benar saja mereka terlihat sangat panic bercampur takut.
Karena rasa lapar mulai mengetuk pintu lambung, kami pun berencana keluar dan mencari makan. Kami pun pergi ke kasir terlebih dahulu untuk membayar buku yang akan kami beli. Sudah selesai dibayar kami segera mencari pintu keluar dari ruangan, namun akan tetapi tiba-tiba, si penguntit tadi sedang menunggu di tempat meuju jalan ke luar dan tersenyum horor. Dari sana juga aku baru sadar kalau dia seonggok laki-laki di bus tadi, si Nurul memegang tanganku dan berjalan setengah berlari sambil culang-cileung (nggak tahu bahasa Indonesianya) melihat ke belakang, disusul Fajrin dan Thia yang tak kalah cemasnya. Dan ternyata benar dia mengawasi kami. Perlahan dia berjalan mengikuti kami.
Kami pun masuk ke tempat penjual makanan di sana semacam kantin gitu masih dengan penuh kewaspadaan. Dan ternyata benar si penguntit itu mengikuti juga, ikut masuk ke kantin sambil seperti yang lagi mencari kami. Saat menemukan kami dia kembali sura-seuri dan tetap berjalan mengikuti. Kami pun hampir berlari menerobos belakang kantin, terus aja lari keluar hingga sampai di depan tempat kekuasaan mamang satpam. Kami terengah dan bener-bener ketakutan. Sambil sesekali melihat ke belakang untuk memastikan apakan si penguntit itu masih mengikuti atau tidak.
Rasa lapar memang selalu mengalahkan segalanya. Saat dirasa keadaan mulai aman, kami berencana untuk kembali ke kantin itu, menimbang tidak ada lagi penjual makanan dan pasti harga-harganya mahalleu alias mehong. Selangkah demi selangkah kami passtikan aman dari si penguntit dan syukurlah kami tidak menemukannya, lalu kami memesan makanan dan makan dengan perasaan tidak tenang sama sekali. Lalu aku mulai memprediksi kepada tiga kawanku kalau si penguntit tadi pasti sedang menunggu kami, dia pasti sedang berdiam diri di luar sana. Dan aku yakinkan itu kepada kawanku.
Selesai makan kami pun berencana untuk segera pulang saja karena mustahil untuk kembali ke tempat buku, takutnya nanti ketemu lagi si penguntit. Kami pun berjalan santai keluar, hendak menyebrang jalan dan mencari halte bus. Tepat sekali, di sana kami menjumpai halte bus dan beberapa orang yang sedang duduk di sana menunggui bus lewat. Akhirnya kami pun menyebrang dan berjalan menuju halte.
Entah karena sudah lelah dan sangat takut aku rasa si Nurul melupakan sesuatu dan aku sudah menyadarinya. Si Penguntit tadi sedang duduk manis sambil memainkan handphone nya dan ketika kami melewatinya dia memamerkan sederetan gigi depannya. Si Nurul yang entah tidak menyadarinya sama sekali dia duduk berdekatan dengan si Penguntit, si Thia berjalan ke belakang dan duduk tepat di belakang si Penguntit. Aku yakin si fajrin juga sudah menyadarinya karena dia enggan untuk duduk. Dengan plosnya Nurul menawarkan fajrin untuk duduk di sebelahnya dan Thia menawarkanku untuk duduk di sebelahnya juga.
Kemudian dengan isyarat mata, fajrin memberi tahu Nurul kalau dia duduk di sebelah si Penguntit, tanpa ba-bi-bu Nurul beranjak berdiri dengan wajah pucat pasi, dia melangkah cepat meninggalkan halte disusul oleh aku, Fajrin dan Thia. Bodoh bodoh bodoh, kenapa bisa sampai lengah seperti ini. kami pun berjalan menjauhi halte entah bersembunyi di depan gedung apa, sambil sesekali di antara kami melihat si Penguntit¸ dan tentu saja dia masih mengawasi kami dan beranjak entah kemana. Kami pun semakin ketakutan. Suasana semakin mencekam seram.
Beberapa saat kami duduk sambil bersembunyi dan memastikan si Penguntit, pergi dari halte. Lalu aku meyakinkan lagi kawanku kalau dia pasti sedang menunggu bus juga seperti apa yang nanti akan kita lakukan. Si Penguntit pasti akan naik bus yang sama juga dengan kita. Satu di antara kami memastikan kembali dan sedikit lega karena tidak menemukan si Penguntit duduk di halte. Kami pun memberanikan diri untuk kembali ke halte. Memang benar saat itu kami tidak menemukannya di sana. Ada beberapa orang yang duduk di sana juga, termasuk beberapa anak perempuan yang sepertinya tadi duduk bersamaan dengan si Penguntit. Aku beranikan diri untuk bertanya kepada anak perempuan itu.
“Teh, tadi lihat cowok yang duduk di sebelah sana nggak?”
“Oh iya teh yang pake jaket biru ya. Kalau tidak salah tadi ke alfa dulu deh.”
Sekilas aku melihat alfa yang tak jauh dari halte dan seperti ada siluet jaket biru masuk ke dalam alfa. iya bener, dia masuk ke algfa dulu.
“Iya teh, tau nggak orang itu dari tadi nguntit kami terus. Kami bener-bener takut.” Kataku lagi.
Ketiga kawanku pun merapat mendekatiku dan ikut nimbrung sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas pula kepada tiga perempuan yang kami ajak bicara tadi. Selang beberapa menit si Penguntit pun keluar dari alfa dan berjalan santai menuju halte. Memang saat ini halte sudah agak banyak orang, tapi tetep saja kami sangat takut. Hingga kami berencana untuk naik grab saja bersama tiga orang perempuan terpengaruh tadi.
Si Penguntit datang lagi. Dia berdiri di ujung sana dan kami bergerombol di ujung sini. Si Penguntit mulai berjalan perlahan ke ujung sini dan kami bergerombol berjalan perlahan ke ujung sana dengan arah yang berlawanan. Kelakuan kami pun menarik perhatian beberapa orang yang sedang duduk di halte. Seolah kami lah orang yang aneh, padahal kami sedang mencari keamanan. Tidak lama datanglah bus, penuh sih, tapi kami memang harus segera pulang. Di situ kami bernegosiasi apakah harus naik atau tidak. Tapi pastinya si Penguntit akan tetep ngikutin kami. Daripada nanti kami dan si Penguntit tetap berada di halte mending naik aja yang sudah jelas banyak orang.
Naiklah kami ke dalam bus, udara segar dan dingin AC bus sudah tidak bisa dirasakan lagi. Si Penguntit berdiri di dekat pintu bus seolah sedang mempersilahkan kami dulu yang naik. Dan benar saja setelah kami berempat naik, dia juga ikut naik. Bus penuh, kami berdiri. Beruntung si Penguntit berdiri di barisan depan. Namun setelah penumpang mulai surut, dia berjalan ke belakang mendekati tempat duduk kami. Rasa takut pun muncul kembali. Dia masih berdiri di belakang.
Pikiran-pikiran negatif pun mulai bermunculan. Namun, kami bersyukur setelah melihat si Penguntit turun dari bus terlebih dahulu. Syukurlah akhirnya kami bisa terbebas dari seonggok penguntit itu. Mungkin orang lain tidak akan merasa cemas dan was-was seperti kami yang tahu sedang diawasi. Inilah cerita jalan-jalan kami yang sangat menegangkan. Padahal kami berpikir ini akan menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan. Namun, si Penguntit merusaknya menjadi kaset kusut, berantakan sudah. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Meskipun begitu, aku merasa senang karena kami bisa menghadapi ketakutan bersama. Anggap saja kami sedang bermain sinetron ftv yang endingnya absurd.
Nah itulah sekelumit kisah yang bersumber dari pengalaman nyataku. Terima kasih sudah mau membaca sampai akhir. Semoga ceritanya dapat menghibur para readers seklean. Thank you, see you later. Tunggu kisah-kisah berikutnya ya gaesss..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar