Perempuan, memang sudah menjadi topik pembicaraan yang terdengar di mana-mana. Mulai dari gaya hidup, pekerjaan, hingga mereka yang mampu berkecimpung di dunia perpolitikkan atau dunia hukum. Ketika Islam menyinggung tentang perempuan, bahwasannya Islam telah menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Laki-laki diberikan amanah oleh Allah untuk mencari nafkah dan perempuan memiliki peran dalam mendidik keluarga, karena hukum asal perempuan adalah seorang ibu dan ia mempunyai hak dalam perlindungan terhadap dirinya.
Perempuan
bagaikan permata yang harus dijaga, dan hanya Islam yang memuliakan perempuan.
Islam mengajarkan perempuan untuk berperilaku sebagaimana perempuan dengan
segala kehormatannya. Islam juga tidak membatasi ruang gerak perempuan untuk
berkarya dengan syarat tidak melanggar fitrah dan kewajiban utamanya.
Perempuan yang menghormati dirinya, ia
akan menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, ia akan
senantiasa mencintai dirinya dan menghiasi diri dengan perilaku-perilaku yang karimah.
Ketika ia berperan sebagai seorang anak, maka hal yang harus dilakukannya
adalah berbakti kepada kedua orang tua. Tatkala ia menjadi seorang isteri, maka
kewajibannya adalah menghormati suami dan melayani suami dengan baik. Di saat
menjadi seorang ibu, maka ia harus mendidik anak-anaknya dengan pengajaran yang
baik. Hingga ketika menjadi anggota masyarakat, ia harus menjadi teladan yang
baik yang mampu mengubah kondisi lingkungannya menuju perbaikan hidup, terutama
perbaikan diri. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi perempuan untuk
berdakwah.
Perempuan
sebagai seorang anak
Lukman
berkata kepada anaknya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Seorang ibu
yang mengandung anaknya selama sembilan bulan – pada umumnya – lalu menyusuinya
selama dua tahun, hingga merawatnya dengan segala kasih sayang dan
pengorbanannya. Kemudian ayah yang senantiasa mencari nafkah untuk keluarga,
menghidupi keluarga dengan keringatnya, tanpa mengenal lelah hanya untuk
mencukupi kebutuhan keluarga dan yang paling utama untuk menyekolahkan anaknya
hingga menjadi manusia terdidik. Lalu apakah mereka menginginkan uang kembali
atau mengharap balas budi dari anaknya? Tentu saja tidak demikian. Hanya
melihat anaknya tersenyum dan menjadi manusia yang diharapkannya, itu sudah
membuat bahagia bagi para orang tua. Mereka akan ikhlas karena merasa telah
berhasil melaksanakan amanah dalam mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang sholeh
dan sholehah. Sudah sepantasnya seorang anak berbakti kepada kedua orang
tuanya, terutama anak perempuan yang nantinya akan merasakan peran sebaga
seorang ibu. Jadi, perintahnya sudah jelas yaitu berbakti dan tidak menyakiti
hati orang tua.
Perempuan
sebagai seorang isteri
Setiap
manusia yang ada di bumi ini adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Begitupun perempuan, ia adalah pemimpin dalam mengatur
kehidupannya sebagai seorang isteri. Seorang isteri yang baik, ia akan menjaga
nama baik keluarga, terutama nama baik
suaminya. Ia tidak akan pergi ke mana-mana tanpa seizin dari sang suami, ia
takkan berani mempersilahkan tamu laki-laki memasuki rumahnya tanpa izin dari
suaminya. Begitupun dalam menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang perempuan.
Seorang isteri harus mampu melayani suami dengan pelayanan terbaiknya. Melayani
juga merupakan salah satu tugas seorang pemimpin, karena pemimpin itu tidak
selamanya harus memerintah.
Apakah
seorang isteri harus melakukan perintah dari suami dalam hal kemunkaran?
Pengecualian dalam hal ini. Ketika sorang suami memerintahkan kepada isterinya
untuk melakukan kemunkaran, maka seorang isteri berhak menolaknya. Ia juga
berhak membela dirinya, karena tidak ada ketaatan dalam hal kemunkaran.
Perempuan
sebagai seorang ibu
Anak
adalah amanah dari Tuhan, maka siapa yang diberikan tanggung jawab ia harus
melaksanakannya. Menjadi seorang ibu merupakan tugas mulia bagi semua
perempuan. Dengan hadirnya seorang anak, ia akan dituntut untuk memberikan
pendidikan dan pengajaran yang baik. Menjadi seorang ibu juga bukan perkara
yang mudah, karena ia dituntut dalam hal kesabaran dan keikhlasan. Ibu adalah
orang yang memiliki banyak peluang untuk selalu dekat dengan anak-anaknya,
walaupun dalam Alquran lebih banyak disebutkan mengenai percakapan seorang anak
dengan ayahnya. Namun, hal ini bukan berarti tugas mendidik anak diserahkan
semuanya pada seorang ibu, karena seorang ayah juga harus ikut serta dalam
mendidik anak-anaknya.
Perempuan
sebagai anggota masyarakat
Adalah
sebuah tindakan yang bijaksana jika seorang perempuan menjadi teladan yang baik
di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang ditempatinya. Ia akan bergaul
dengan anggota masyarakat lain dengan tidak melanggar eksistensinya sebagai
seorang perempuan. Pada dasarnya hak-hak seorang perempuan adalah sama dengan
hak dari kaum laki-laki. Islam melindungi agamanya, hartanya, jiwanya, dan
kehormatannya sama seperti kaum laki-laki, terutama dalam hal beribadah dan
mendapatkan pahala. Sebagaimana dalam Alquran surat an-Nisa ayat 124, yang
artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga
dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun”.
Islam
juga memberikan ruang kepada perempuan untuk berperan aktif dalam memajukan
masyarakat, terutama untuk memajukan bangsa. Sebagai contoh adalah Khadijah
isteri Rasulullah saw. sebagai orang pertama dari kaum hawa yang memeluk Islam
dan selalu mendukung dakwah dan perjuangan Rasulullah. Sumayyah sebagai
syahidah pertama yang membela Islam dengan keimanan yang kuat dalam hatinya,
bahkan rela mengorbankan nyawanya. Kemudian Aisyah binti Abu Bakar yang
terkenal sebagai perawi hadits sampai saat ini, dan masih banyak lagi
perempuan-perempuan lainnya yang berperan aktif dalam memajukan bangsa.
Sebagaimana
halnya di Indonesia, banyak pahlawan-pahlawan dari golongan perempuan yang
telah berjasa dalam perjuangan bangsa pada zaman penjajahan. Misalnya saja
seorang tokoh perempuan dari Aceh, yaitu Cut Nyak Dien. Sebagai pejuang
perempuan yang memimpin perang di barisan pertama dalam peristiwa perang Aceh
dengan Belanda, Cut Nyak Dien tidak pernah mundur bahkan dengan semangatnya
yang berapi-api ia melawan Belanda. Atau R.A. Kartini yang juga dikenal sebagai
pejuang perempuan karena jasanya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Terlepas
dari kesemuanya itu, bahwa seorang perempuan juga harus melaksanakan perintah
dari Allah Swt. terutama dalam hal menutup aurat. Menutup aurat diwajibkan bagi
perempuan untuk melindungi dirinya dan kehormatannya. Akan tetapi, pada saat
ini masih banyak ditemukan perempuan yang justru mengmbar auratnya atau sekedar
menutup tapi tidak menghormati dirinya – seperti perempuan berkerudung, namun
berpakaian ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya, dan sebagainya –
sehingga bukannya menghindari perhatian, tetapi malah menarik perhatian. Dalam
dunia perempuan, menutup aurat adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah
secara langsung. Dalam Alquran surat al-Ahzab ayat 59 disebutkan: “Hai Rasul,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang
mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam
penafsiran al-Maraghi (1992: 63) ayat ini dimaknai bahwa Allah Swt. menyuruh
Nabi saw. agar memerintahkan wanita-wanita mu’minat dan muslimat, khususnya
para isteri dan anak-anak perempuan Beliau, supaya mengulurkan pada tubuh
mereka jilbab-jilbab, apabila mereka keluar dari rumah mereka, supaya dapat
dibedakan dari wanita-wanita budak.
Jelas
sekali antara ayat dan penafsirannya, bahwa ketika seorang perempuan keluar
dari rumahnya – missal untuk melakukan sebuah aktivitas – maka ia wajib
menutupi tubunya dengan pakaian-pakaiannya tanpa memperlihatkan bagian-bagian
tubuhnya yang dapat mengundang fitnah. Lalu bagian-bagian tubuh mana saja yang
dapat mengundang fitnah? Jawabannya dalam firman Allah surat an-Nur ayat 31:
“…. dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,… “
Dalam tafsir al-Maraghi (1992: 179)
menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi tentang larangan memandang aurat laki-laki
dan aurat perempuan yang mereka tidak dihalalkan memandangnya (antara pusar dan
lutut). Kemudian tafsiran untuk kata ‘perhiasan’ yaitu perhiasan yang harus
disembunyikan seperti gelang tangan, gelang kaki, kalung, mahkota, selempang
dan anting-anting, karena semua perhiasan itu terletak pada bagian tubuh
(hasta, betis, leher, kepala, dada dan telinga) yang tidak halal untuk
dipandang, kecuali oleh orang-orang yang dikecualikan di dalam ayat.
Kemudian
perintah selanjutnya setelah melarang menampilkan perhiasan tubuh, yaitu
menyembunyikan anggota tubuh tempat perhiasan itu. Hendaklah mereka mengulurkan
kudungnya ke dada bagian atas di bawah leher, agar dengan demikian mereka dapat
menutup rambut, leher, dan dadanya sehingga tidak sedikit pun dan padanya yang
terlihat (al-Maraghi, 1992: 80).
Dengan
demikian, kedua ayat tersebut saling berkaitan mengenai perintah berhijab bagi
perempuan-perempuan muslimah. dan berhijab pun bukan sekedar menutup saja tapi
juga memahami esensi dari menutup aurat itu sendiri. Memakai pakaian yang
longgar dan kerudung yang menutupi dada merupakan salah satu caranya. Bukan
sebaliknya menutup tapi mengumbar, seperti berkerudung dengan model punuk unta
atau berpakaian ketat yang memamerkan lekuk tubuhnya. Padahal pada ahkikatnya yang
dimaksud aurat itu sendiri adalah lekukan-lekukan tubuh perempuan yang mampu
mengundang syahwat lawan jenisnya. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber
Rujukan:
Al-Maragi, A. M. (1992). Tafsir Al-Maragi.
Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar