Laman

Sabtu, 18 April 2020

MATSUMOTO-KUN




I only have a piece of love that is obsolete. Because I've left it dusty. And I've never opened it for twelve years. Now I open it again. And you've become a stranger. 
.

"Namaku Matsumoto Akihiko. Boleh kita berkenalan?" Dia menjulurkan tangan kanannya padaku.

Eh, aku terbelalak menatapnya. Kurasa sekarang pupil mataku mengecil dan irisnya melebar, apa mungkin terlihat meski terhalang kacamata yang kupakai. Aku tahu, dia sama sepertiku. Sama-sama orang baru yang mulai bekerja di percetakan ini. Tapi, bagiku dia bukanlah orang baru. Ya, aku yakin itu. Dia tersenyum ramah padaku.

'Namaku Sasaki Mio'. Tentu saja aku mengucapkannya di dalam hati. Entah kenapa lidahku terlalu kelu untuk mengatakannya. Kemudian aku membuat jeda di antara pertanyaan itu.
.

"Sasaki-chan!! Masih ada lima naskah lagi yang harus diselesaikan hari ini!" Tiba-tiba seniorku dibagian editor berteriak memanggilku.

"Oh, ya!" Aku menundukkan kepala sebagai isyarat permintaan maaf pada laki-laki yang berdiri di depanku. Aku segera berlari ke ruang kerjaku.

"Sasaki-chan, aku akan mengedit tiga naskah hari ini. Kau edit dua naskah saja dulu." Seniorku menunjukkan file naskah itu. Kebetulan kami duduk bersebelahan. 

Ruangan kerja ini memang tidak begitu rumit. Dalam satu ruangan bisa dibuat empat ruangan kecil. Kebetulan ruangan yang kutempati bersama dengan ruang ilustrator, tempatnya hanya disekat-sekat setinggi bahu orang dewasa saja.

Aku duduk berhadapan dengan layar monitor. tangan kananku menggerak-gerakkan mouse, sesekali jari-jariku menari di atas keyboard atau hanya sekedar memijit 'backspace'.

Entah bagaimana, aku teringat pada laki-laki itu, Matsumoto-kun dan aku merasa kecewa. Dia sama sekali tidak mengingatku. Dua belas tahun yang lalu, memang bukan waktu yang sedikit untuk melupakan seseorang. Padahal aku sangat mengingatnya. Coz, he is my first love and now I just need him to remember meItu saja.

Saat itu di sekolah dasar, kami satu kelas. Matsumoto-kun tidak terlalu pintar, bahkan mungkin tingkat kecerdasannya sama denganku. Tapi dia sangat populer dan banyak disukai anak gadis. Di kelasku, semua gadis memperebutkannya kecuali aku. Awalnya aku biasa saja, tidak ada perasaan khusus untuknya. Namun, seirring berjalannya waktu tanpa sadar aku telah memperhatikannya. Matanya yang sipit dengan iris onyx yang tajam, dan kalau tersenyum kedua matanya akan tertutup. Kulitnya yang sedikit kecokelatan, namun dia begitu manis.

Ketika semua teman sekelasku telah menyukainya, mungkin aku gadis yang paling terlambat menyukainya. Saat sebentar lagi hari kelulusan. Aku tidak terlalu ingat apakah kami pernah berbicara sebelumnya atau tidak. Yang kuingat adalah ketika dia menghampiriku dan berkata,

"Sasaki-san, apakah ini penghapus milikmu?" Ekspresi wajahnya datar, tak menyiratkan sesuatu. Tangan kanannya memegang penghapus kecil warna putih. Lalu aku mengambilnya untuk memastikan apakah itu milikku atau bukan.

"Oh, bukan." Lalu ku kembalikan padanya dan ia pun berlalu.

Saat itu, ada rasa senang di hatiku karena Matsumoto-kun menyapaku, tapi di sisi lain aku juga merasa sedih karena tidak bisa dekat dengannya. Dia begitu populer, sedangkan aku hanya seorang gadis yang sulit bersosialisasi. Aku tidak mempunyai kepercayaan diri seperti gadis lainnya. Aku selalu menyendiri, bahkan aku hanya memiliki satu teman baik saja dan itupun yang sebangku denganku.

Lalu ketika pulang sekolah, kebetulan rumah kami satu arah. Karena terburu-buru aku berlari dan kakiku tersandung, aku terjatuh dan Matsumoto-kun sangat melihatku. Aku tidak bisa membayangkan rona wajahku saat itu. Malu sekali. Aku tahu, dia menyunggingkan senyuman padaku, seperti mengejek. Ah, aku tak peduli. Lalu ku bergegas dengan susah payah karena kakiku masih terasa sakit.

"hati-hati."

Yah, aku mendengarnya. Matsumoto-kun berbisik seperti itu ketika aku melewatinya. Saat itu juga angin membelai rambutku. Rasanya aku ingin menangis saja.

Jika orang lain bisa melihat orang yang dicintainya bahagia itu sudah cukup, maka aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin orang yang kucintai bahagia bersamaku. Jika perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan, maka lebih baik aku tidak usah jatuh cinta untuk yang kedua kalinya. Dan jika aku berhenti mencintainya karena tidak terbalaskan, itu berarti cintaku tidaklah tulus.
.
.

Aku bek egenn pemirsaaah.. rasanya setahun sekali aku merawat blog-ku yang sudah lumutan ini.
Baiklah itu tidak penting -_-.  Yang terpenting sekarang adalah aku merilis kembali cerpen-cerpen rendahan ini T_T, mohon dimaklumi. 
Bagi yang sedang searching-searcing cerpen romance, yuk mampir di sini. Wios anggo we sendalna mah, bilih ical *abaikan. 
Ini ceritanya sedikit-banyak (subhat banget ya -_-) berasal dari pengalaman manusia biasa yang pernah jatuh cinta. 
kira-kira buatin bagian 2 nya jangan yah? :D

#Gambar dari Pinterest

Sabtu, 06 Juli 2019

BIG BAD BAD BAD BAD STALKER

Hai gaes, udah teramat sangat lama blog ini terabaikan. Kalau sebangsa paku mungkin udah karatan yah kaya si mantan *eh. Sebenernya sedih banget akutu ngeliat blog sendiri yang seperti tak ada kehidupan samsek kek gini. Bahkan sejenis plankton dan protozoa pun tak sudi mampir ke sini. TnT . Baiklah untuk menghidupkan kembali blog absurd ini, aku akan menyuguhkan sebuah kisah, yang mana kisah ini terinspirasi dari kisah nyata, nyata nya nyebelin banget. Oke plis yah baca sampai selesai. Jangan kayak plankton dan protozoa yang pelit bahkan untuk sekedar singgah. :D

BIG BAD BAD BAD BAD STALKER
By: Ren

Jadi gini, kisah ini dimulai ketika planet Bandung dihebohkan dengan kedatangan bazar buku terbesar, namanya BIG BAD WOLF (BBW). Yang lope lope sama buku pasti nggak akan asing dengan nama BBW, yakin deh kamu juga pasti tahulah, kalau nggak tahu ya pura-pura tahu ajalah, kalau nggak tahu juga ya pura-pura tempe aja, kalau masih nggak tahu juga pergi sana ke Sumedang tempatnya para pengeTAHUan.

BBW ini diselenggarakan pada tanggal 28 Juni sampai 8 Juli 2019, tempatnya di hotel Mason Pine yanga ada di Kota Baru Parahyangan. Dooong secara, aku sebagai salah satu pengabdi buku, atau lebih tepatnya semacam BIBK (Beli Iya Baca Kagak) kan penasaran banget. Sumvah penasaran setengah mampus saat itu. Aku pikir ini adalah momen di mana nanti aku bakalan ngeliat surga buku di sana, oh my dear, I wanna go there. Lalu kutunggu bila nanti saatnya tlah tiba untuk pergi ke BBW.

Waktu pun berlalu melesat seperti kunai yang dilemparkan Sasuke. Tibalah pada tanggal 5 Juli 2019, aku dan teman-teman se-aliansi berencana untuk berkunjung ke istana si Bad Wolf itu. Sekitar jam tujuh pagi lah aku dan ketiga temanku (sebut saja Thia, Nurul dan Fajrin) berangkuys ke Kota Baru. Semangat 100% kalau soal walk-walk mah. Kebetulan rumah kami berjauhan jadi kami berempat bertemu di Dayeuhkolot untuk nantinya berangkat bareng ke terminal Kebon Kalapa. Maklumlah kami ingin cari aman berangkat naik angkot, soalnya kedua temanku tak berani bawa motor ke daerah sana. Katanya polisi daerah sana galak-galak cuuuyyy..

Yang lebih dulu sampai di Dayeuhkolot saat itu Thia dan Fajrin, karena jarak dari rumahnya tak terlalu jauh juga. Kemudian disusul Nurul dan aku yang hampir datang bersamaan. Kami pun melanjutkan perjalanan naik angkot sampai ke terminal Kebon Kalapa. Di sana kami harus berjalan (sebenarnya bisa naik angkot cuma kami aliansi iriters milih jalan kaki saja) menuju alun-alun Bandung. Tahu kan alun-alun Bandung? Yang ada rumput-rumput sintesis nya itu loh yang suka dipake rangorang untuk berpoto ria. Tidak terlalu jauh juga sih jaraknya sampai kami berani berjalan ke sana. Dan di perjalanan tuh kita bener-bener mesti memiliki pandangan lurus ke depan. Yaa soalnya kalau tengok kiri-kanan bakal menemukan godaan-godaan dunia shopping yang terkutuk setingkat gawat darurat.

Sesampainya di alun-alun kami naik bus kota agar sampai di Kota Baru. Bau segar-dingin AC bus menyeruak di kulit, masuk ke daging dan menembus tulang belulang sejak pertama kali ku injakkan kaki di tangga bus. Hening, busnya kosong dan hanya ada SATU orang duduk di barisan paling depan deket pintu keluar-masuk bus. Seonggok manusia berjenis kelamin laki-laki duduk di barisan paling depan, dia memakai jaket biru tua, celana sontog (apa ya kayak jeans belel gitu panjangnya selutut) dan seuntai kabel earphone yang dipasang di kedua telinganya and I don’t know apa yang sedang di dengarkannya dan I don’t care about that, ok.

Kami berempat langsung mencari posisi duduk. Kami berempat pun lebih memeilih duduk di barisan depan, katanya si Nurul biar bisa nanyain arah ke si mamang bus. Awalnya Nurul dan Thia duduk di barisan kedua sejajar dengan mamang supir, sedangkan aku dan Fajrin memilih duduk di barisan kedua sejajar dengan seonggok laki-laki yang duduk di barisan depan tadi. Biasalah kami wefie dulu di bus lah biar kek orang-orang, basa-basi busuk, canda-canda gajelas, ketawa ketiwi absurd dan tingkah konyol lainnya hingga muncul dua penumpang lain yang kemudian duduk di kursi yang asalnya di tempati Thia dan Nurul yang kemudian sekarang sudah berada di belakang aku dan Fajrin. Kalau digambarkan tempat duduk nya seperti ini:

Seonggok laki-laki + kosong
Aku dan Fajrin
Thia dan Nurul

Berangkatlah Tayo menuju Kota Baru. Karena ragu takutnya ini bus nggak sampai ke BBW, aku pun bertanya ke mamang supirnya.

“Mang, nanti turunnya di deket hotel Mason Pine ya!”

“Oh iya iya, di pameran buku ya. Nanti juga kelewatan.”

Secara si mamang angkot yang sudah maha tahu ini bilang lagi kalau bus nya akan sampai di sana pukul Sembilan, okelah tak apa-apa. Di perjalanan kami ngobrol-ngobrol ke sana ke mari kayak yang baru menemukan secercah kebahagiaan gitu, soalnya ini momen buat ngelepas penat di musim liburan. Penumpang pun mulai bertambah seiring perjalanan berlangsung.

Sekitar kurang lebih pukul Sembilan, Tayo berhasil sampai di TKP. Ternyata nggak hanya kami yang mau mengunjugi BBW, ada beberapa orang yang turun bersamaan dan menuju hotel Mason Pine, termasuk si seonggok laki-laki tadi. Kami beempat pun segera mencari jalan masuk ke dalam bangunan bertingkat itu. Para penjaga pintu surga buku pun memeriksa tas setiap pengunjung dan memperingati agar tidak minum di ruangan jika menjumpai ada botol minum di tas pengunjung.

Setelah melewati tahap pemeriksaan, kami langsung memburu para buku-buku yang sudah ditata bertumpuk menggunung. Memang sih kebanyakan buku-buku luar yang berbahasa Inggris, namun ada juga yang berbahasa Indonesia. Saat melihat para buku, aku mulai curiga kalau bukunya sudah hamper habis meskipun masih menggunung. Aku dan ketiga kawanan aliansi langsung memburu bagian buku-buku fiksi. Niatnya mau nyari novel barangkali ada yang cocok. Aku kalau lihat buku banyak suka lupa diri dan lupa sekitar, sampai-sampai aku terpisah dengan ketiga kawanku. Pokoknya setiap stand aku kunjungi kecuali stand buku-buku berbahasa Inggris.

Ketiga temanku masih mencari-cari di stand yang lain, aku pun semakin menjauh dari mereka. Tak berapa lama aku mendapatkan beberapa buku yang sekiranya pengen dibeli. Kemudian aku terkejut karena kehilangan tiga kepala kawanku, aku berpikir mereka mungkin sedang berkeliling nyari buku. Aku pun kembali menyisir buku-buku bertumpuk itu. Selang beberapa menit, tiga kawanku menjumpaiku dan terlihat sangat mengkhawatirkan. Dengan nafas yang masih terengah Nurul berbisik kepadaku.

Nyaho teu lalaki anu tadi sa-bus jeung kita anu make calana sontog, nunutur arurang wae. Urang sieun, melongkeun wae bari sura seuri.”

Wah aslina, naha urang teu sadarnya.” Kataku sedikit shock.

Aslina, tadi arurang nepi ka nyumput di mushola da sieun dituturkeun wae.” Fajrin menimpali.

Intinya si seonggok laki-laki tadi berevolusi menjadi penguntit dan mengikuti sambil mengawasi ketiga kawanku. Saking takutnya mereka sampai bersembunyi di mushola dan mengkhawatirkan aku yang terpisah sendiri, katanya takut diculik sama si penguntit tadi. Di sanalah aku baru sadar dan memperhatikan satu persatu ekspresi kawanku. Benar saja mereka terlihat sangat panic bercampur takut.

Karena rasa lapar mulai mengetuk pintu lambung, kami pun berencana keluar dan mencari makan. Kami pun pergi ke kasir terlebih dahulu untuk membayar buku yang akan kami beli. Sudah selesai dibayar kami segera mencari pintu keluar dari ruangan, namun akan tetapi tiba-tiba, si penguntit tadi sedang menunggu di tempat meuju jalan ke luar dan tersenyum horor. Dari sana juga aku baru sadar kalau dia seonggok laki-laki di bus tadi, si Nurul memegang tanganku dan berjalan setengah berlari sambil culang-cileung (nggak tahu bahasa Indonesianya) melihat ke belakang, disusul Fajrin dan Thia yang tak kalah cemasnya. Dan ternyata benar dia mengawasi kami. Perlahan dia berjalan mengikuti kami.

Kami pun masuk ke tempat penjual makanan di sana semacam kantin gitu masih dengan penuh kewaspadaan. Dan ternyata benar si penguntit itu mengikuti juga, ikut masuk ke kantin sambil seperti yang lagi mencari kami. Saat menemukan kami dia kembali sura-seuri dan tetap berjalan mengikuti. Kami pun hampir berlari menerobos belakang kantin, terus aja lari keluar hingga sampai di depan tempat kekuasaan mamang satpam. Kami terengah dan bener-bener ketakutan. Sambil sesekali melihat ke belakang untuk memastikan apakan si penguntit itu masih mengikuti atau tidak.

Rasa lapar memang selalu mengalahkan segalanya. Saat dirasa keadaan mulai aman, kami berencana untuk kembali ke kantin itu, menimbang tidak ada lagi penjual makanan dan pasti harga-harganya mahalleu alias mehong. Selangkah demi selangkah kami passtikan aman dari si penguntit dan syukurlah kami tidak menemukannya, lalu kami memesan makanan dan makan dengan perasaan tidak tenang sama sekali. Lalu aku mulai memprediksi kepada tiga kawanku kalau si penguntit tadi pasti sedang menunggu kami, dia pasti sedang berdiam diri di luar sana. Dan aku yakinkan itu kepada kawanku.

Selesai makan kami pun berencana untuk segera pulang saja karena mustahil untuk kembali ke tempat buku, takutnya nanti ketemu lagi si penguntit. Kami pun berjalan santai keluar, hendak menyebrang jalan dan mencari halte bus. Tepat sekali, di sana kami menjumpai halte bus dan beberapa orang yang sedang duduk di sana menunggui bus lewat. Akhirnya kami pun menyebrang dan berjalan menuju halte.

Entah karena sudah lelah dan sangat takut aku rasa si Nurul melupakan sesuatu dan aku sudah menyadarinya. Si Penguntit tadi sedang duduk manis sambil memainkan handphone nya dan ketika kami melewatinya dia memamerkan sederetan gigi depannya. Si Nurul yang entah tidak menyadarinya sama sekali dia duduk berdekatan dengan si Penguntit, si Thia berjalan ke belakang dan duduk tepat di belakang si Penguntit. Aku yakin si fajrin juga sudah menyadarinya karena dia enggan untuk duduk. Dengan plosnya Nurul menawarkan fajrin untuk duduk di sebelahnya dan Thia menawarkanku untuk duduk di sebelahnya juga.

Kemudian dengan isyarat mata, fajrin memberi tahu Nurul kalau dia duduk di sebelah si Penguntit, tanpa ba-bi-bu Nurul beranjak berdiri dengan wajah pucat pasi, dia melangkah cepat meninggalkan halte disusul oleh aku, Fajrin dan Thia. Bodoh bodoh bodoh, kenapa bisa sampai lengah seperti ini. kami pun berjalan menjauhi halte entah bersembunyi di depan gedung apa, sambil sesekali di antara kami melihat si Penguntit¸ dan tentu saja dia masih mengawasi kami dan beranjak entah kemana. Kami pun semakin ketakutan. Suasana semakin mencekam seram.

Beberapa saat kami duduk sambil bersembunyi dan memastikan si Penguntit, pergi dari halte. Lalu aku meyakinkan lagi kawanku kalau dia pasti sedang menunggu bus juga seperti apa yang nanti akan kita lakukan. Si Penguntit pasti akan naik bus yang sama juga dengan kita. Satu di antara kami memastikan kembali dan sedikit lega karena tidak menemukan si Penguntit duduk di halte. Kami pun memberanikan diri untuk kembali ke halte. Memang benar saat itu kami tidak menemukannya di sana. Ada beberapa orang yang duduk di sana juga, termasuk beberapa anak perempuan yang sepertinya tadi duduk bersamaan dengan si Penguntit. Aku beranikan diri untuk bertanya kepada anak perempuan itu.

“Teh, tadi lihat cowok yang duduk di sebelah sana nggak?”

“Oh iya teh yang pake jaket biru ya. Kalau tidak salah tadi ke alfa dulu deh.”

Sekilas aku melihat alfa yang tak jauh dari halte dan seperti ada siluet jaket biru masuk ke dalam alfa. iya bener, dia masuk ke algfa dulu.

“Iya teh, tau nggak orang itu dari tadi nguntit kami terus. Kami bener-bener takut.” Kataku lagi.

Ketiga kawanku pun merapat mendekatiku dan ikut nimbrung sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas pula kepada tiga perempuan yang kami ajak bicara tadi. Selang beberapa menit si Penguntit pun keluar dari alfa dan berjalan santai menuju halte. Memang saat ini halte sudah agak banyak orang, tapi tetep saja kami sangat takut. Hingga kami berencana untuk naik grab saja bersama tiga orang perempuan terpengaruh tadi.

Si Penguntit datang lagi. Dia berdiri di ujung sana dan kami bergerombol di ujung sini. Si Penguntit  mulai berjalan perlahan ke ujung sini dan kami bergerombol berjalan perlahan ke ujung sana dengan arah yang berlawanan. Kelakuan kami pun menarik perhatian beberapa orang yang sedang duduk di halte. Seolah kami lah orang yang aneh, padahal kami sedang mencari keamanan. Tidak lama datanglah bus, penuh sih, tapi kami memang harus segera pulang. Di situ kami bernegosiasi apakah harus naik atau tidak. Tapi pastinya si Penguntit akan tetep ngikutin kami. Daripada nanti kami dan si Penguntit tetap berada di halte mending naik aja yang sudah jelas banyak orang.

Naiklah kami ke dalam bus, udara segar dan dingin AC bus sudah tidak bisa dirasakan lagi. Si Penguntit berdiri di dekat pintu bus seolah sedang mempersilahkan kami dulu yang naik. Dan benar saja setelah kami berempat naik, dia juga ikut naik. Bus penuh, kami berdiri. Beruntung si Penguntit berdiri di barisan depan. Namun setelah penumpang mulai surut, dia berjalan ke belakang mendekati tempat duduk kami. Rasa takut pun muncul kembali. Dia masih berdiri di belakang.

Pikiran-pikiran negatif pun mulai bermunculan. Namun, kami bersyukur setelah melihat si Penguntit turun dari bus terlebih dahulu. Syukurlah akhirnya kami bisa terbebas dari seonggok penguntit itu. Mungkin orang lain tidak akan merasa cemas dan was-was seperti kami yang tahu sedang diawasi. Inilah cerita jalan-jalan kami yang sangat menegangkan. Padahal kami berpikir ini akan menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan. Namun, si Penguntit merusaknya menjadi kaset kusut, berantakan sudah. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Meskipun begitu, aku merasa senang karena kami bisa menghadapi ketakutan bersama. Anggap saja kami sedang bermain sinetron ftv yang endingnya absurd.

Nah itulah sekelumit kisah yang bersumber dari pengalaman nyataku. Terima kasih sudah mau membaca sampai akhir. Semoga ceritanya dapat menghibur para readers seklean. Thank you, see you later. Tunggu kisah-kisah berikutnya ya gaesss..

Kamis, 24 November 2016

Rumah Horor Katanya



kisah ini kutulis saat aku mengikuti P2M di Cianjur *Gak ada yang nanya -_-
selamat membaca :)

 “Tengg!!!” bunyi jam itu memecahkan keheningan di rumah tua yang baru saja kutempati. Rumah dengan arsitek bangunan tua, memiliki tiga ruangan besar, lantai yang masih alami tanpa keramik hanya lapisan semen yang sudah dihaluskan, jendela yang hampir menjadi dinding dengan kusen yang sudah digerogoti rayap, walaupun seperti itu bangunannya telihat kuat. Kami berenam, bersama rumah tua yang menjadi tempat istirahat kami ketika kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berlangsung.

Lukisan seorang kakek yang sudah sepuh tertempel di dinding ruang tengah. Ruang tengah yang luas tanpa kursi, hanya ada meja kecil yang di atasnya ada televisi 24 inci. Dua kamar tidur yang bisa dilihat di ruang itu. Kamar pertama sungguh gelap, karena lampu kamar terjadi konslet. Di kamar itu hanya ada satu ranjang model ranjang bertingkat, namun ranjang di atasnya tidak di pasangkan. Dua lemari pakaian tersusun di setiap pojok kamar, jendela kamar dengan dua penutup. Yaitu dari kayu yang mnghadap keluar dan dari kaca yang menghadap ke dalam.

Setelah semua tas bawaan kami di simpan di kamar tersebut, kami beranjak untuk melihat kamar kedua. Sungguh berbeda dengan kamar yang pertama. Kamar dengan nuansa pink ditempeli gambar-gambar Doraemon dan Hello Kitty yang sangat lucu. Aku bisa menebak ini adalah kamar anak dari pemilik rumah. Dan sepertinya ada dua anak perempuan di kamar ini.

Hari pertama, kami bingung harus ngapain. Pada akhirnya ketua dari kami mengajak untuk membersihkan kamar mandi dengan ukuran yang luas. “Kita bersihin kamar mandi yuk!” seorang gadis yang usianya satu tahun di atas kami berlima mengajak untuk membersihkan kamar mandi. Yah itulah Teh Najmah, seorang teteh strong. Hehehe.

“Ayo teh!” Jawabku bersemangat. Kemudian diikuti yang lainnya. Kami melangkah beriringan menuju kamar mandi. Yah kamar mandi. Ukurannya luas, di samping pintu aku melihat sebuah sumur untuk menimba air, aku pikir kedalaman sumur ini tidak terlalu dalam. Di samping sumur ditu ada sebuah bak kecil berukuran sekitar sehasta dengan bentuk seperti kubus. Kami saling pandang, yeah aku tahu maksudnya. Ayo kita bersihkan bak itu. Bak yang terlihat kotor karena mungkin sudah lama tidak digunakan sang pemilik.

“BUGGHHH!!” Aku mulai melempar ember bertali ke dalam sumur itu. Bukan untuk membuang embernya tapi untuk mengangkut air yang ada di dalam sumur itu. Berat sungguh, karena baru merasakan menimba air lagi setelah sekian lama terbebas dari pekerjaan yang menguras tenaga seperti ini. Kulihat teh Najmah mulai menggosok-gosok bak kecil itu dan waw spektakuler kotornya. Aku masih berkonsentrasi dengan pekerjaan menimba air.

“Teh biar aku bantu menyikat baknya dengan sapu lidi ini.” Kata seorang tim sukses kami, dia adalah Milah alias Siti Jamilah. Milah naik ke atas bak dan menyapu-nyapu *nyapu air, hingga menghasilkan air kotor. Teh Najmah berganti posisi, kini dia tengah menggosok-gosok dinding luar bak. 

“Mending salah satu dari kalian menyapu rumah gih!” Kata teteh kami memberi komando. “Oke teh biar aku saja.” Kata seseorang yang bernama Cucu (perempuan) dengan antusias. Aku lelah dan akhirnya bergantian menimba ilmu *eh, air maksudnya, dengan salah satu sahabatku yaitu Yuliawati.  Lucu memang, kami sekarang terlihat seperti keluarga baru yang sedang menempati rumah barunya.

Jam 15.00 teng, tepat sekali kami selesai membersihkan kamar mandi,kami beranjak ke ruang tengah untuk beristirahat sejenak sebelum nanti kami mengajar ngaji anak-anak di madrasah. Ternyata benar tidak lama kami melepas penat, adzan ashar pun segera berkumandang dan kami harus bersiap-siap pergi ke madrasah untuk mengajar di sekolah diiniyyah. Mengajar pun dimulai. Anak-anak yang masih sekolah SD itu sangat antusias dan semangat menerima materi dari kami, aku juga semangat moto-in mereka. Ya, saat itu aku diberi tugas oleh teh Rahayu sebagai tukang foto alias dokumentasi. Sangat menyenangkan.

Proses belajar mengajar pun selesai sekitar lima menit sebelum maghrib. Kami juga memebritahukan kepada anak-anak untuk mengikuti pelajaran selanjutnya setelah shalat maghrib, yaitu hafalan surat al-‘Adiyat. Aku, Yuli, Cucu mengajar sistem talqin dengan cara membacakan ayat kemudian diikuti anak-anak dan terus diulang-ulang hingga sampai tiga ayat. Sementara teh Najmah harus mewakili wilayah kami ke pusat atau wilayah utama untuk mengikuti pengarahan atau breafing atau apalah namanya aku lupa lagi. Dua kawan kami lainnya, Iis dan Milah memasak untuk makan malam kami. Yeah pembagian tugas yang baik dari teteh kami.

Selesailah mengajar hingga ba’da Isya. Anak-anak pulang ke rumahnya masing-masing dan kami.. kami juga pulang ke rumah tua itu. Jarak dari madrasah ke rumah yang kami tempati cukup dekat sehingga cukup berjalan kaki saja tak perlu pakai motor ataupun angkot. Kolam. Di pinggir rumah itu ada kolam ikan, sudah ya tak perlu dibahas lebih lanjut. Rasanya gerah sekali hari ini, aku memberanikan diri untuk mandi di malam hari. Makanan sudah siap dihidangkan di atas tikar di ruang tengah. Aku melihat ada mie di csmpur telur di dalam baskom kecil dan tentu saja kerupuk makaroni yang pedas sepedas-pedasnya.

“Hah ada ular!!” Kataku kaget. Sugestiku mengatakan malam ini adalah malam jum’at dan ada ular, udah gitu aja.

“teteh tidak tahu ya, tadi ada ular di sana – nunjuk ambang pintu ke dapur – lalu masuk ke bawah mesin cuci dan nggak keluar lagi.” Jelas Milah.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, aku dan Yuli saling tatap.

“Tengg!!!” Jam dinding itu mengagetkan lagi. Deg! Jantung kami masing masing berdegup shock. Aku tahu, kami mencoba menghilangkan sugesti masing-masing dan menundukkan pandangan *maksudnya menunduk karena memandang makanan yang sudah siap di hadapan kami. Lengang kembali menyelimuti suasana malam,, Jum’at. #ku keukeuh. Walaupun sudah hampir jam setengah sembilan malam, kami belum menyentuh makanan itu, karena kami harus menunggu teteh kesayangan kami. Kami tidak mau makan tanpa kehadirannya, karena itu sangat tidak sopan, kami harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.

“Ada yang punya obat sakit kepala?” Tiba-tiba Cucu merasakan sakit di kepalanya.

Kami hanya menggeleng karena memang tidak ada yang membawa obat sakit kepala.
“Yaudah sms teh Najmah saja buat ngambil obat di sana.” Usul Yuli masuk akal.
“Tapi aku belum punya nomer  si teteh.” Kataku.
“Ini aku ada.” Yuli menyebutkan nomor tri-nya teh Najmah. Kemudian aku mengetikkan sms.

Aku: Teh, Cucu minta obat sakit kepala cnah.
Teh najmah bspi: oke sayang, bentar ya.
Teh najmah bspi: obat pusing atau antimo?
Aku: antimo boleh teh. – hasil diskusi aku dkk di rumah –
Teh najmah bspi: kalian udah pada makan?
Aku: belom teh, kami nungguin teteh J.
Teh najmah bspi: jangannnnnn.. kalian makan aja duluan.
Aku: yaudah teh kami makan duluan.
Teh najmah bspi: oke.

Itulah percakapan singkat di sms antara aku dan teh Najmah, kurang lebih sms nya seperti itu, karena aku tidak bisa menuliskan sms yang aslinya, karena sudah dihapusan. Padahal selera makanku sudah hampir hilang karena peristiwa ular itu yang mengganggu pikiran, lagi-lagi sugesti itu muncul. Daripada nanti perutku perih lagi mending makan aja paksain, aku makan sepiring berdua dengan Yuli, karena alasan Yuli yang nggak mau banyak piring kotor cenah.

Setelah makan kami tidak langsung tidur dan jeng jeng, tak lama kemudian teh Namah datang membawa pesanan *antimo maksudnya. Teteh kami makan dengan lahap mie bagiannya yang sudah kami pisahkan terlebih dahulu, sambil kami ceritakan soal kedatangan ular yang tiba-tiba itu. Setelah itu siap-siap menggosok gigi sebelum tidur.

“Ayo ada yang mau sikat gigi bareng teteh!” Ajaknya.
“Ayo teh.” Sahutku antusias.
Kami berjaln beriringan, teh Najmah berjalan di depanku, dan...............
“Astaghfirullaah..”
“Apa teh?” Kataku penasaran sambil kaget.
“Ular.”

Deg. Seketika itu aku balik kanan, bubar jalan. Aku mengurungkan niat untuk menggosok gigi, karena ular kecil itu sudah ada di ambang pintu kamar mandi.

“Nggak mau teteh, Reni mah nggak mau sikat gigi ah. Besok pagi aja weh.” Kataku ketakutan.

“Ayolah siapa yang mau ke air bareng teteh.” Si Teteh masih bersikeras. “Nanti ularnya di usir sama teteh.”

Tidak ada yang mau. Hingga akhirnya Cucu mau ke kamar mandi bareng teh Najmah. Dan sepertinya tidak terjadi sesuatu diantara mereka. Tidak ada ular lagi. Alhamdulillaah, syukurlah. Yang ditakutkan adalah bagaimana jika ular itu masuk ke kamar tidur kami. Itu adalah hal yang sangat membahayakan bukan? – oke stop! Jangan cerita itu lagi.

Malam pertama, kami tidur pulas. Tidak ada yang mengganggu istirahat kami. Kemudian kami bangun setelah adzan shubuh. Astaghfirullah, kami tidak jadi qiyamul lail, mungkin karena terlalu kelelahan hingga terlelap dalam sepi. Seperti biasa, melaksanakan shalat shubuh berjama’ah, sebagaimana perintah teteh tercinta. Aku, Iis dan Cucu shalat shubuh berjama’ah dengan Iis sebagai imam kami. Aktifitas selanjutnya membaca al-ma’tsurat dan membaca al-Quran.

Setelah itu dibimbing teh Najmah membaca surat al-Jumu’ah dan surat Kahfi. Stelah kegiatan ruhaniah kami selesai, saatnya sarapan pagi. Wuihh, tanpa disangka ternyata sarapannya roti dan susu cokelat, hmmm nyammmyy. Cokelat panas menemani pagi yang dingin.

“Ayo setelah ini gantian mandinya, kita siap-siap olahraga bareng anak-anak.” Ucap teh Najmah.

Kami harus menuruti apa kata pemimpin kami. Karena pemimpin kami menyeru kepada ke ma’rufan dan mencegah kemunkaran. Antum khoiru ummat.. Yuli mengambil alih sebagai peserta mandi pagi pertama. Sementara yang lainnya menunggu setia.

“Tengg!!” sudah satu jam si Yuli nggak selesai-selesai, pikirku. Dan ternyata dia dengan santainya menjawab, “Nyuci piring dulu.” Yaelah.

Singkat cerita.
Jam delapan jadwalnya olahraga bareng anak-anak Diiniyyah. Olahraga pagi ini dipimpin oleh teh Najmah dengan menyanyikan sebuah lagu ‘Head Shoulder.’ Gini lagunya:

‘Head shoulder knees and toes,, knees and toes. Head shoulder knees and toes eye ear mouth noose.’ (gatau sih aku gabisa nulis inggrisnya) Sambil menunjuk nama-nama yang disebut dalam bahasa Inggris tersebut. Lucu teh. Setelah itu, anak-anak disuruh menggambar kaligrafi  kemudian acara selanjutnya membuat puding bareng-bareng *padahal yang bikinnya mah si teteh aja.

Aku dan Cucu menyempatkan diri untuk jajan Jasuke (jagung susu keju) dulu karena kabita ku anak-anak. Sesampainya di rumah itu, aku mendengar suara orang yang berbeda. Ya, itu adalah suara utusan dari wilayah pertama yaitu teh Mida sedang mengkondisikan anak-anak.

Waktu terus berjalan hingga sore menjelang lagi, kami mengajar anak-anak lagi dan selepas itu, aku dkk – tanpa teh Najmah, karena bertugas -  sedih! Mencari tukang baso. Ternyata sulit juga nyari tukan baso di daerah ini hingga kami kukulintingan dan mendapatkannya di rumah tetangga yang agak jauh. Yasudahlah yang penting dapet, hingga maghrib menjelang dan kami pulang di madrosah ada teh Najmah dan teh Adis. Yaudah kami makan baso dulu karena kami sepakat malam ini tugasnya kang Irfan mengajar tahfidz itu, kami pun datang terlambat, sudah direncanakan.

Oke malam kedua. Seperti biasanya teh Najmah yang bertugas ke pusat untuk mencari informasi. Kejadian tragis akan segera dimulai. Hari ini air sumur mulai menyusut, airnya keruh. Terpaksa kami harus ikut mandi ke pusat. Tapi aku dan Yuli berfikir untuk tidak pergi ke pusat, males. Kami ingin tetap mandi di rumah wilayah dua ini, padahal air sumur itu sudah keruh. Aku dan yuli mencari alternative baru.

“Uli, gimana kalau kita ambil air  pakai selang aja?” Usulku.
“Hayu aja,”

Aku dan Yuli mulai menarik selang yang terhubung dengan kamar mandi melalui celah jendela atas kamar mandi.

“Tapi kamu yang ke sanainnya.” Kata si Yuli.
“Iya sok.” Kataku ragu-ragu karena melihat masih pagi banget terus harus melalui kebun gitu. Dengan malas kulangkahkan kaki untuk menghubungkan selang ke tempat wudhu di masjid. Ketika aku tarik dan menengok ke belakang ……………………………………………………………………………

Oh Tuhan! Aku melihat kendaraan akhirat. Deg! Aku gemeteran, Tuhan kejutan macam apa ini. Pikirku. Aku segera bergegas dengan dalih bahwa selangnya gak nyampe.

“Uli da selangnya juga gak nyampe.” Kataku setengah berlari.
“sepertinya harus ditarik lagi, di dalam masih ada segulung selang kan.”
“Nggak ah, aku nggak mau.” Kataku ketus.
“Hayu lah, sedikit lagi. kamu tarik dari luar.”
“Tapi kamu yang ke sananya.” Kataku lagi yang nggak mau balik ke kebun tadi.
“Iya, nanti uli yang ke sanainnya.” Yuli menyerah.

Akhirnya Yuli menarik selang itu dan kini dia sudah melewati kendaraan akhirat itu. Aku pikir Yuli tidak sadar, eh ternyata dia yang lebih dulu tahu tentang alat itu. Makanya dia menyuruhku untuk lebih dulu ke sana. Dasar menyebalkan. Tapi anehnya, ketika kejadian yang menurut kami horor gitu, kami malah tertawa ngakak. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Tapi kami sadar tingkah kami yang menggelikan – oke stop. Ternyata tetap saja selang itu gak nyampe tempat wudhu. Dengan pasrah kami menngulung kembali selangnya.

“Satu-satunya cara lagi adalah kita langsung ngambil air dari sana pakai ember ini.” Aku mengusulkan alternative kedua sambil menunjuk dua ember yang ada di rumah.

“Okelah.” Yuli yang akhirnya pasrah.
Kami pun mengambil air menggunakan ember, berat sungguh hingga telapak tangan kami kesakitan. Tapi tak apalah demi seember air agar bisa mandi.

Yosh, semuanya sudah beres dan rapi, tinggal ke pusat bareng anak-anak untuk mengikuti perlombaan. Hingga perlombaan itu selesai dan aku bersama Yuli pamit pulang duluan karena ada sesuatu hal yang membuat kami harus pulang setelah dzuhur.

Aku tidak tahu cerita selanjutnya di rumah itu. Aku hanya mengucapkan terima kasih kepada pemilik rumah walaupun tidak sempat bertemu. Dan ternyata isu-isu tentang rumah horor itu tidaklah seratus persen benar. Karena itu hanyalah sugesti diri kita masing-masing. J

#the end

Ren Murasaki

Selasa, 07 Juli 2015

Makhluk yang Bernama Perempuan




Perempuan, memang sudah menjadi topik pembicaraan yang terdengar di mana-mana. Mulai dari gaya hidup, pekerjaan, hingga mereka yang mampu berkecimpung di dunia perpolitikkan atau dunia hukum. Ketika Islam menyinggung tentang perempuan, bahwasannya Islam telah menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Laki-laki diberikan amanah oleh Allah untuk mencari nafkah dan perempuan memiliki peran dalam  mendidik keluarga, karena hukum asal perempuan adalah seorang ibu dan ia mempunyai hak dalam perlindungan terhadap dirinya.
Perempuan bagaikan permata yang harus dijaga, dan hanya Islam yang memuliakan perempuan. Islam mengajarkan perempuan untuk berperilaku sebagaimana perempuan dengan segala kehormatannya. Islam juga tidak membatasi ruang gerak perempuan untuk berkarya dengan syarat tidak melanggar fitrah dan kewajiban utamanya.
            Perempuan yang menghormati dirinya, ia akan menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, ia akan senantiasa mencintai dirinya dan menghiasi diri dengan perilaku-perilaku yang karimah. Ketika ia berperan sebagai seorang anak, maka hal yang harus dilakukannya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Tatkala ia menjadi seorang isteri, maka kewajibannya adalah menghormati suami dan melayani suami dengan baik. Di saat menjadi seorang ibu, maka ia harus mendidik anak-anaknya dengan pengajaran yang baik. Hingga ketika menjadi anggota masyarakat, ia harus menjadi teladan yang baik yang mampu mengubah kondisi lingkungannya menuju perbaikan hidup, terutama perbaikan diri. Dengan demikian, tidak ada larangan bagi perempuan untuk berdakwah.
Perempuan sebagai seorang anak
            Lukman berkata kepada anaknya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Seorang ibu yang mengandung anaknya selama sembilan bulan – pada umumnya – lalu menyusuinya selama dua tahun, hingga merawatnya dengan segala kasih sayang dan pengorbanannya. Kemudian ayah yang senantiasa mencari nafkah untuk keluarga, menghidupi keluarga dengan keringatnya, tanpa mengenal lelah hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan yang paling utama untuk menyekolahkan anaknya hingga menjadi manusia terdidik. Lalu apakah mereka menginginkan uang kembali atau mengharap balas budi dari anaknya? Tentu saja tidak demikian. Hanya melihat anaknya tersenyum dan menjadi manusia yang diharapkannya, itu sudah membuat bahagia bagi para orang tua. Mereka akan ikhlas karena merasa telah berhasil melaksanakan amanah dalam mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang sholeh dan sholehah. Sudah sepantasnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama anak perempuan yang nantinya akan merasakan peran sebaga seorang ibu. Jadi, perintahnya sudah jelas yaitu berbakti dan tidak menyakiti hati orang tua.
Perempuan sebagai seorang isteri
            Setiap manusia yang ada di bumi ini adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Begitupun perempuan, ia adalah pemimpin dalam mengatur kehidupannya sebagai seorang isteri. Seorang isteri yang baik, ia akan menjaga nama baik keluarga,  terutama nama baik suaminya. Ia tidak akan pergi ke mana-mana tanpa seizin dari sang suami, ia takkan berani mempersilahkan tamu laki-laki memasuki rumahnya tanpa izin dari suaminya. Begitupun dalam menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang perempuan. Seorang isteri harus mampu melayani suami dengan pelayanan terbaiknya. Melayani juga merupakan salah satu tugas seorang pemimpin, karena pemimpin itu tidak selamanya harus memerintah.
            Apakah seorang isteri harus melakukan perintah dari suami dalam hal kemunkaran? Pengecualian dalam hal ini. Ketika sorang suami memerintahkan kepada isterinya untuk melakukan kemunkaran, maka seorang isteri berhak menolaknya. Ia juga berhak membela dirinya, karena tidak ada ketaatan dalam hal kemunkaran.
Perempuan sebagai seorang ibu
            Anak adalah amanah dari Tuhan, maka siapa yang diberikan tanggung jawab ia harus melaksanakannya. Menjadi seorang ibu merupakan tugas mulia bagi semua perempuan. Dengan hadirnya seorang anak, ia akan dituntut untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik. Menjadi seorang ibu juga bukan perkara yang mudah, karena ia dituntut dalam hal kesabaran dan keikhlasan. Ibu adalah orang yang memiliki banyak peluang untuk selalu dekat dengan anak-anaknya, walaupun dalam Alquran lebih banyak disebutkan mengenai percakapan seorang anak dengan ayahnya. Namun, hal ini bukan berarti tugas mendidik anak diserahkan semuanya pada seorang ibu, karena seorang ayah juga harus ikut serta dalam mendidik anak-anaknya.
Perempuan sebagai anggota masyarakat
            Adalah sebuah tindakan yang bijaksana jika seorang perempuan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang ditempatinya. Ia akan bergaul dengan anggota masyarakat lain dengan tidak melanggar eksistensinya sebagai seorang perempuan. Pada dasarnya hak-hak seorang perempuan adalah sama dengan hak dari kaum laki-laki. Islam melindungi agamanya, hartanya, jiwanya, dan kehormatannya sama seperti kaum laki-laki, terutama dalam hal beribadah dan mendapatkan pahala. Sebagaimana dalam Alquran surat an-Nisa ayat 124, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun”.
            Islam juga memberikan ruang kepada perempuan untuk berperan aktif dalam memajukan masyarakat, terutama untuk memajukan bangsa. Sebagai contoh adalah Khadijah isteri Rasulullah saw. sebagai orang pertama dari kaum hawa yang memeluk Islam dan selalu mendukung dakwah dan perjuangan Rasulullah. Sumayyah sebagai syahidah pertama yang membela Islam dengan keimanan yang kuat dalam hatinya, bahkan rela mengorbankan nyawanya. Kemudian Aisyah binti Abu Bakar yang terkenal sebagai perawi hadits sampai saat ini, dan masih banyak lagi perempuan-perempuan lainnya yang berperan aktif dalam memajukan bangsa.
            Sebagaimana halnya di Indonesia, banyak pahlawan-pahlawan dari golongan perempuan yang telah berjasa dalam perjuangan bangsa pada zaman penjajahan. Misalnya saja seorang tokoh perempuan dari Aceh, yaitu Cut Nyak Dien. Sebagai pejuang perempuan yang memimpin perang di barisan pertama dalam peristiwa perang Aceh dengan Belanda, Cut Nyak Dien tidak pernah mundur bahkan dengan semangatnya yang berapi-api ia melawan Belanda. Atau R.A. Kartini yang juga dikenal sebagai pejuang perempuan karena jasanya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
            Terlepas dari kesemuanya itu, bahwa seorang perempuan juga harus melaksanakan perintah dari Allah Swt. terutama dalam hal menutup aurat. Menutup aurat diwajibkan bagi perempuan untuk melindungi dirinya dan kehormatannya. Akan tetapi, pada saat ini masih banyak ditemukan perempuan yang justru mengmbar auratnya atau sekedar menutup tapi tidak menghormati dirinya – seperti perempuan berkerudung, namun berpakaian ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya, dan sebagainya – sehingga bukannya menghindari perhatian, tetapi malah menarik perhatian. Dalam dunia perempuan, menutup aurat adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah secara langsung. Dalam Alquran surat al-Ahzab ayat 59 disebutkan: “Hai Rasul, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
            Dalam penafsiran al-Maraghi (1992: 63) ayat ini dimaknai bahwa Allah Swt. menyuruh Nabi saw. agar memerintahkan wanita-wanita mu’minat dan muslimat, khususnya para isteri dan anak-anak perempuan Beliau, supaya mengulurkan pada tubuh mereka jilbab-jilbab, apabila mereka keluar dari rumah mereka, supaya dapat dibedakan dari wanita-wanita budak.  
            Jelas sekali antara ayat dan penafsirannya, bahwa ketika seorang perempuan keluar dari rumahnya – missal untuk melakukan sebuah aktivitas – maka ia wajib menutupi tubunya dengan pakaian-pakaiannya tanpa memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang dapat mengundang fitnah. Lalu bagian-bagian tubuh mana saja yang dapat mengundang fitnah? Jawabannya dalam firman Allah surat an-Nur ayat 31:
“…. dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,… “
Dalam tafsir al-Maraghi (1992: 179) menjelaskan bahwa ayat tersebut berisi tentang larangan memandang aurat laki-laki dan aurat perempuan yang mereka tidak dihalalkan memandangnya (antara pusar dan lutut). Kemudian tafsiran untuk kata ‘perhiasan’ yaitu perhiasan yang harus disembunyikan seperti gelang tangan, gelang kaki, kalung, mahkota, selempang dan anting-anting, karena semua perhiasan itu terletak pada bagian tubuh (hasta, betis, leher, kepala, dada dan telinga) yang tidak halal untuk dipandang, kecuali oleh orang-orang yang dikecualikan di dalam ayat.
Kemudian perintah selanjutnya setelah melarang menampilkan perhiasan tubuh, yaitu menyembunyikan anggota tubuh tempat perhiasan itu. Hendaklah mereka mengulurkan kudungnya ke dada bagian atas di bawah leher, agar dengan demikian mereka dapat menutup rambut, leher, dan dadanya sehingga tidak sedikit pun dan padanya yang terlihat (al-Maraghi, 1992: 80).
Dengan demikian, kedua ayat tersebut saling berkaitan mengenai perintah berhijab bagi perempuan-perempuan muslimah. dan berhijab pun bukan sekedar menutup saja tapi juga memahami esensi dari menutup aurat itu sendiri. Memakai pakaian yang longgar dan kerudung yang menutupi dada merupakan salah satu caranya. Bukan sebaliknya menutup tapi mengumbar, seperti berkerudung dengan model punuk unta atau berpakaian ketat yang memamerkan lekuk tubuhnya. Padahal pada ahkikatnya yang dimaksud aurat itu sendiri adalah lekukan-lekukan tubuh perempuan yang mampu mengundang syahwat lawan jenisnya. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber Rujukan:

Al-Maragi, A. M. (1992). Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Jumat, 18 Juli 2014

Ketika Kian Santang Menjadi Kian Sinting


Berhubung lagi dongkol sama sinetron-sinetron laga di tipi, jadi aku mau berbual dan bergeje-geje ria disini.

Langsung aja ah. Jadi gini, adek aku yang laki (masih 6 tahun) suka nonton sinetron laga. Tau kan Raden Kian Sinting (eh) Santang? Suka sebel deh kalo adekku ini udah nonton yang beginian. Bukannya apa-apa ya. Selain sinetron laga itu suka lebay kalau ngomong, pemeran-pemeran perempuannya itu loh (aku gak tau siapa aja tokoh-tokohnya) menor-menor. Kan itu sinetron laga, alur ceritanya kan nyeritain kehidupan kerajaan dulu. Lah, emang zaman dahulu kala udah ada salon apa? Kok bisa-bisanya si peyem-peyemnya itu udah pake bulu mata, eyeliner, eyeshadow, blash on, lipstick, lip gloss, dan apa lah semua itu. Ah aneh banget lah!

Terus pakaiannya. Pakaian mereka juga udah pada nyentrik-nyentrik gituh. Bayangin aja yah, perempuan-perempuannya itu pake kebaya gaun gituh yang pake burkat buricak burinong, terus dalam kondisi kaya gituh mereka harus fight. Bisa fight gimana coba, yang ada ribet sama kebayanya. Udah kebaya, pake kemben, pake burkat, kebaya gaun lagi. Oh em ji hellooow, udah nyangkut-nyangkut aja keles kalau kejadiannya di dunia nyata mah.
Ah udah ah nulisnya, males ngetik.

Itu sekilas info tentang sinetron absurd dari Indonesia dan masih banyak lagi sinetron-sinetron absurd lainnya yang malesin banget.

Sabtu, 17 Mei 2014

Cahaya Islam Untukku

By: R. Seishin Mizunashi


Manusia dilahirkan ke dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap insan yang menginjakkan kakinya di dataran bumi ini pasti dibekali dengan kekurangannya. Namun, Tuhan tidak menjadikan kekurangan itu sebagai benteng yang menghalangi manusia untuk berkarya. Karena dengan kekurangan itulah kita tahu akan kelebihan kita yang sebenarnya. Kuncinya hanya satu, bersyukurlah!. Islam adalah agama yang sempurna, Islam menghargai martabat manusia, Islam juga menghormati kaum wanita, Islam pulalah yang membuatku menjadi berbeda dan berkarya. Ibu bilang, wanita muslimah itu bagaikan intan yang disimpan di dalam lemari yang terkunci, terjaga dari kejahatan dan selalu terlindungi. Berbeda dengan intan yang terlantar di pinggir jalan, dijual murahan, kadangkala sudah cacat dan ternodai, kalau sudah seperti itu, siapa yang masih mau untuk membelinya dengan mahal, bahkan mungkin nantinya akan terasingkan.
Ketika itu, Aku baru pulang dari negeri sakura, Aku bersyukur sekali karena mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahku di Jepang, tepatnya di Tokyo University. Suasana musim semi yang masih kurasakan kini semakin menjauh, mungkin bulan April sekarang Aku tidak bisa mengikuti hanami lagi bersama kawan-kawanku di sana. Tidak apalah yang penting bagiku sekarang adalah keluargaku yang berada di bumi yang subur nan makmur ini, Indonesia tercinta. Saat ini, Aku tengah berteduh di sebuah kafe di daerah Jakarta, hujan yang mengguyur kota metropolitan ini memaksaku untuk membeli secangkir kopi hangat dan beberapa cemilan. Sambil menunggu hujan reda, Aku pun berjalan ke tempat duduk paling pojok, karena kursi di depan sudah banyak di tempati orang. Maklumlah, kalau suasana hujan seperti ini kafe itu jadi ramai dikunjungi orang-orang.
Aku duduk di samping seorang wanita dengan rambut diikat satu di atas dan tepat di depan wanita itu seorang lelaki yang berperawakan kekar, sepertinya mereka tengah kencan, pikirku. “Rena!!.” Tiba-tiba suara memanggil namaku. Ternyata wanita di sampingku yang memanggilku. “Chika!!.” Ku sapa pula wanita yang ku kenal itu. Ternyata wanita itu adalah Chika, nama aslinya Jesika Kirana Sari. Teman sekelasku ketika di SMP dan SMA, Aku kaget bukan main dan Chika pun merasakan hal yang sama. Kami pun bersalaman dan saling tegur sapa menanyakan kabar masing-masing. “Rena!, apa kau melupakan aku?” Tanya seorang laki-laki yang duduk di depan Chika. Kami terlalu asyik mengobrol sehingga melupakan orang yang kini ada di depan kami. “Eh, kamu…” Aku berusaha untuk mengingat lelaki itu. “Ini Hanif, yang dulu sering kita buli, hahaha.” Chika memberitahuku, mungkin karena terlalu kesal melihatku berfikir lama. “Oo.. Hanif, iya iya aku ingat sekarang. Maaf ya dulu kau sering dibuli oleh kami.” Aku berusaha tersenyum dan meminta maaf atas perlakuanku dulu. Ternyata Hanif berubah seratus delapan puluh derajat, yang dulunya dia pendek dan gendut, kini berubah menjadi seorang pria berbadan kekar dan tinggi. “Eh, Rena! Ternyata penampilanmu sekarang berubah ya, hehehe.” Hanif meledek. Aku tersentak, penampilanku yang dulu dengan yang sekarang memang jauh berbeda, dulu Aku tak berkerudung, sekarang Aku sudah menjadi seorang akhwat yang mengenakan hijab dengan rapi dan tertutup.
Chika lalu berbalik menatap penampilanku yang sedari tadi tidak menyadarinya “O iya, sekarang jadi ustadzah ciyee!.” Chika pun ikut meledekku. Sementara itu, Hanif dan Chika mentertawakanku seolah lucu melihat penampilanku yang berbeda dengan enam tahun silam. Kemudian seorang pelayan yang mengantarkan pesananku tiba dan menyimpannya di atas meja di depanku, Hanif dan Chika pun berhenti tertawa, akhirnya. “Kalian ini bagaimana sih, bagus dong kalau berubah ke arah yang lebih baik.” Timpalku sambil mencoba meneguk kopi hangat hari ini. “Maksudmu, berarti dulu kau tidak begitu baik?” Chika bertanya penasaran. “Hmm.. begitulah.” Jawabku singkat, tentu saja Chika masih penasaran dengan pertanyaannya.
Aku malu ketika mengenang masa remajaku yang begitu feminis. Hidupku terlalu liberal saat itu, hingga Aku berani memarahi Ibuku sendiri karena hal sepele, memukul adikku Aliya karena ada sedikit kesalah fahaman. Aku membuat geng bersama teman-temanku, salah satunya Chika. Dulu kami belum kenal Islam lebih jauh, bahkan mungkin tidak mau kenal Islam karena aturan-aturannya yang menurutku terlalu kejam, apalagi pada kaum wanita. Sepertinya pergerakan wanita itu dibatasi dengan aturan-aturan tertentu. Bahkan Islam itu sepertinya membeda-bedakan derajat kaum wanita dengan kaum laki-laki, padahal Tuhan menciptakan manusia itu sama, yaitu dari sperma.
 Aku selalu membantah ketika Ibu menyuruhku mengenakan hijab. “Rena!. Kau sudah besar, tutuplah aurat rambutmu dengan kerudung!.” Aku malah membantah semena-mena, “Berisik Ibu!, tiap hari kerjaannya menyuruhku untuk pakai kerudung. Nanti juga kalau aku mau pasti aku pakai.” Aku pergi meninggalkan Ibu untuk bertemu dengan teman-temanku dan Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Ayahku sudah meninggal dunia ketika Aku berusia dua belas tahun, dan Ibu sedang mengandung tiga bulan oleh Aliya, Ayah meninggal karena kecelakaan. Mungkin tekanan psikologi juga yang mendorongku untuk berakhlak seperti itu. Entah setan apa dan dari mana asalnya sehingga berani merasuki diriku ketika itu, Aku lebih memilih teman-temanku daripada Ibuku.
‘Waktu itu ibarat pedang, barangsiapa tidak bisa mengendalikannya dengan baik maka ia akan memotongmu’. Kata-kata itu Aku dapatkan dari guru agamaku hari itu. Aku sadar sering membuang-buang waktu dengan percuma bersama gengku. Aku tidak dapat menggunakan waktu dengan baik dan  tidak mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat, tapi Aku malah menyia-nyiakannya dengan candaan, gurauan, main-main dan hal-hal bodoh lainnya. Ibu selalu mengingatkanku waktu shalat, tapi Aku malah melalaikannya. Ibu sering menasihatiku untuk menjadi wanita shalehah, tapi Aku tidak memperdulikannya. Ibu tidak bosannya mengajakku ke pengajian untuk mendengarkan ceramah, tapi selalu saja dengan beribu alas an, aku menolak ajakkan ibu. Dan yang paling parah lagi Aku sama sekali tidak mau membantu pekerjaan Ibu, walaupun sebenarnya Ibu tidak pernah meminta untuk dibantu.
Masa kelam adalah masa suram, saat usiaku menginjak delapan belas tahun, tepatnya ketika Aku duduk di bangku SMA kelas tiga, Aku mulai berpikir dan merenung tentang semua tingkah laku yang rusak dalam diriku. Aku ingat kejadian yang selalu menghantui pikiranku, sejarahnya dimulai tanggal 22 Desember yaitu sering dikenal sebagai Hari Ibu. Tepatnya ketika Ibuku memakaikan kerudung kepada Aliya, adikku yang saat itu berusia tujuh tahun. Aku tidak sengaja mendengarkan perkataan Ibu kepada Aliya, “Annakku Aliya, ketika kerudung ini menutupi rambutmu yang panjang, ketika itu juga ibu merasa bersyukur telah dianugerahi anak secantik dirimu.” Ku lihat Ibu tersenyum bahagia kepada Aliya dan Aliya juga membalas senyum Ibu. Ku lihat kebahagiaan terpancar dari wajah mereka berdua seolah seperti hanya Aliya lah anak satu-satunya. Ibu melanjutkan ucapannya, “Ingat nak! Wanita shalehah itu sebaik-baiknya perhiasan, wanita shalehah itu ibarat intan yang disimpan di sebuah lemari yang terkunci. Tidak sembarangan orang dapat menyentuhnya, apalagi berniat untuk mengambilnya. Janganlah Aliya menjadi intan yang tergeletak di jalanan, yang siapa saja dapat menyentuhnya dan membelinya dengan murah. Sesungguhnya permata yang cacat itu tidak bisa dikembalikan ke bentuk yang sempurna, karena luka itu akan terus membekas.” Kulihat tangan Ibu yang lembut merapikan kerudung yang dikenakan Aliya, hingga di akhiri dengan ucapan Ibu lagi, “Seandainya kakakmu juga menutupi auratnya dengan sempurna ibu akan merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.” Ibu meneteskan air matanya, Aliya pun segera memeluk Ibu. 
Seketika itu Aku sadar dengan segala khilafku dan kesalahanku, Aku menangis di kamarku karena mengingat kesalahan-kesalahan dan perilaku yang ku berikan pada Ibuku sendiri yang begitu menyayangiku. Namun, Aku tidak mau kelihatan lemah di hadapan Ibu dan Aliya, Aku bukanlah anak yang cengeng. Beberapa hari setelah kejadian itu Aku pun mulai meminta maaf kepada Ibu dan Aliya, sedikit demi sedikit aku merubah sikapku dan perubahan yang begitu berarti adalah sekarang Aku sudah belajar berhijab, walaupun masih sedikit berantakan. Akan tetapi, Ibu menyukai penampilanku yang sekarang dibandingkan sebelumnya.
Aku yang dulu sebagai anak pembangkang, kini menjadi anak penurut dan penyayang. Aku yang dulu sebagai anak pemarah, kini menjadi wanita yang ramah tamah. Aku yang dulu suka membuang-buang waktu, kini menjadi sesosok yang mampu mengatur waktu dengan baik. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk berubah ke arah yang lebih baik lagi. kini Aku sudah mendapatkan cahaya Islam yang sebenarnya, Aku menyadarinya bahwa Islam sangat memuliakan kaum wanita, melindungi wanita, karena Islam itu tegas bukan kejam. Dulu Aku tidak ingin mengenal Islam lebih jauh, sekarang Aku mau dan rindu dengan Islam. Sedikit demi sedekit ku luangkan waktu untuk belajar tentang Islam. Kumpul-kumpul bersama geng juga sudah jarang kulakukan, kalaupun mereka sering menanyakan alasan dan kuberi alasan yang rasional.
Cerita Aku bisa kuliah di Jepang adalah pasca kejadian itu, Aku jadi semangat belajar. Pelajaran yang kusukai adalah bahasa Jepang, kebetulan pamanku ada yang bertugas di Jepang sebagai anggota himpunan mahasiswa Islam Jepang, sekarang beliau sedang melanjutkan S-2 nya di sana. Aku termotivasi oleh pamanku sehingga Aku mau belajar, belajar, dan belajar tentang bahasa Jepang, kebudayaannya, keadaan Islam di sana dan kebiasaan sehari-hari orang Jepang. Pamanku juga sering mengirimkan buku-buku panduan dan memepelajari Nihongo, bahkan Aku dikursuskan bahasa Jepang kepada salah satu temannya yang sekarang menjadi salah satu guru bahasa Jepang di sekolahku.
Berkat do’a, usaha, kerja keras yang sungguh-sungguh dalam waktu beberapa bulan Aku mahir berbahasa Jepang, tidak lupa juga Aku dengan cita-cita Ibuku, “Dulu, Ibu ingin sekali mendirikan sebuah butik yang bernuansa Islami. Namun, karena tidak ada biaya dan fasilitas yang mendukung, sampai sekarang butik itu hanyalah sebuah mimpi.” Ibu berkata seperti itu, jauh sebelum Aku berubah menjadi anak yang baik. Terbesit di benakku untuk ikut kursus menjahit, tetapi pada saat itu Ibu melarangku karena satu bulan lagi Aku akan menghadapi Ujian Nasional dan ikut seleksi masuk salah satu perguruan tinggi di Jepang, tentu saja dengan bantuan dan arahan dari pamanku. Berkat kesungguhan pula Aku belajar menjahit kepada bibinya Chika, kebetulan bibinya Chika sebagai penjahit professional. Aku juga belajar mendesain baju kepada guru keterampilanku di sekolah. Hingga pada akhirnya setelah dua minggu Aku belajar dan berlatih, Aku pun bisa menjahit dan mendesain, walaupun hasilnya belum sesempurna yang ahli tapi Aku bangga karena Aku bisa dan pasti bisa.
Singkat cerita saja, setelah lulus Ujian Nasional dan masuk perguruan tinggi di Tokyo University, Aku mulai mengenal yang namanya hanami, yaitu perayaan musim semi pada bulan April. Hanami ini sebenarnya berasal dari kata ‘hana wo miru’ yang artinya ‘melihat bunga’. Tentu saja melihat bunga, karena pada saat itu, bunga sakura mekar dimana-mana, pohonnya kehilangan daun karena hanya bunganya saja yang bermekaran tanpa daun, indah sekali. Aku di sana mendapatkan banyak teman-teman baru, ada yang penduduk asli ada juga yang berasal dari tanah Indonesia sepertiku. Aku mendapatkan satu teman yang sangat baik padaku dan kami sangat akrab, namanya Kurozawa Akira. Dia penduduk asli Jepang dan di keluarganya hanya Akira lah yang beragama Islam, namun keluarganya yang begitu toleran sehingga Akira hidup nyaman bersama mereka. Berkat mengenal Akira juga, Aku mengenal banyak tentang Jepang.
Aku pernah merayakan hanami bersama Akira, Aku menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah pohon sakura,  kebanyakan orang Jepang meminum sake dan bersenang-senang menikmati indahnya hanami. Akan tetapi, Aku dan Akira hanya makan-makan bersama makanan khas yang telah dipersiapkan dari rumah Akira, makanan itu namanya bento. Kata Akira perayaan hanami sekarang ada perbedaan dengan perayaan sebelumnya, yaitu jika orang-orang tua menari dengan tarian tradisionalnya, maka kalangan muda yang berjingkrak-jingkrak dengan musik kerasnya, sehingga suasana menjadi hingar bingar.
Selain musim semi, Aku juga mengenal musim panas atau natsu. Saat itu, Aku dan Akira pergi ke kebun strawberi dan memetik strawberi bersama. Musim panas terjadi pada bulan Juli hingga September. Pada waktu itu agar dapat melewati musim panas yang terik dalam keadaan sehat, orang Jepang biasanya menyampaikan sapaan atau ucapan kepada orang yang dikenalnya, sapaan itu disebut syochuumimai. Agar tidak terkalahkan dengan terik panasnya musim panas, orang Jepang juga biasanya mengkonsumsi unagi yaitu semacam belut, untuk menjaga nutrisi dalam tubuhnya. Di bulan ini, banyak muda-mudi, orang dewasa juga orang tua yang mengenakan yukata, yaitu pakaian kimono yang dipakai pada musim panas dengan warna-warna yang cerah kemudian datang ketempat-tempat penyelenggara hanabitaikai atau pesta kembang api.
Aku diajarkan berkerudung dengan rapi oleh Akira, karena Akira sepertinya seorang akhwat fillāh, yang mengenakan hijabnya yang panjang dan besar, pakaiannya selalu longgar dan tertutup sekali, kecuali wajah dan telapak tangan. Akira memang gadis yang beruntung, ibunya seorang pengusaha butik ternama dan Akira sering dibuatkan pakaian gamis dengan beragam mode yang sopan, Aku juga sering diberi gamis yang bagus dari orang tuanya. Senangnya bisa merasakan udara di negeri matahari terbit ini, dengan Islam yang kugenggam. Aku bersyukur kepada Allah, karena di limpahkan nikmat  yang begitu besar dengan kuliah di Tokyo, Alhamdulillah.
Setelah setahun kuliah di sana, Aku pun menyempatkan waktu untuk pulang ke Indonesia bersama paman ketika libur panjang dan Aku sudah merindukan Ibu dan Aliya di rumah. Saat Aku sampai di Jakarta yaitu hendak ke rumah paman dulu, hujan yang mengguyur ibu kota ini membuatku untuk berteduh di sebuah kafe dan disinilah sekarang Aku bertemu dengan sahabatku Chika dan Hanif. Begitulah kiranya cerita singkat yang ku katakan pada Chika dan Hanif sehingga aku menjadi wanita muslimah yang menutup auratnya.
Aku melihat ekspresi Chika dan Hanif yang sepertinya terlihat begitu takjub. “Kamu memang sudah mendapatkan hidayah Rena, aku juga ingin sepertimu.” Tiba-tiba Chika berkata seperti itu. “Kamu juga bisa Chika, asalkan ada keinginan yang sungguh-sungguh di dalam hatimu.” Aku mencoba untuk meyakinkan Chika. “Baiklah akan kucoba untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sepertimu.” Chika tersenyum yakin. “O iya, ngomong-ngomong apa yang sedang kalian lakukan di kafe ini?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ehm, sebenarnya kami sedang mencari pekerjaan Na. Karena hujan, terpaksa kami mampir dulu ke sini, eh malah bertemu denganmu.” Hanif mencoba menjelaskan maksudnya. Kalau saja aku bisa membantu mereka, pikirku.
Selang beberapa menit, tiba-tiba saja Aku teringat akan sesuatu. “Eh, kalian mau tidak membantuku mendirikan sebuah butik muslimah?” Aku menawarkan mereka dengan penuh semangat. “Waah, mau Rena!!” Jawab Hanif dan Chika serentak. “Ok. Bagus kawan, besok pagi kalian ke rumahku.” Aku senang sekali bisa membantu teman-temanku, walaupun Aku sendiri belum yakin. Aku mendapatkan tawaran dari orang tuanya Akira untuk mendirikan sebuah butik di daerah tempat tinggalku, tentu saja ini adalah sebuah hadiah yang tidak mungkin Aku menolaknya, sekaligus hadiah untuk Ibuku karena cita-citanya akan segera terwujud dan bukan hanya mimpi.
Betapa bahagianya Ibuku setelah ku beri tahu akan adanya sebuah butik muslimah. Suatu hari nanti Aku akan mengajak Akira untuk ke Indonesia dan melihat butikku yang bekerja sama dengan butiknya di Jepang. Walaupun Aku seorang wanita, namun Ibu tidak melarangku untuk terus berkarya, justru Ibu sangat mendukung sekali daripada Aku membuang-buang waktu tidak jelas bersama gengku. Inilah awal dari suatu perjalanan yang harus ku ukir seindah mungkin agar Aku bisa memetik hasilnya di kemudian hari. Terimakasih Ibu, kau yang selalu menyayangiku, mendo’akanku, dan menyemangatiku untuk menjadi manusia yang berarti dan berguna. Lisanmu tidak pernah lelah untuk menasihati Aku yang pernah menyakitimu, maafkanlah Aku.
Bagiku Ibu adalah seorang wanita tangguh yang harus ku hormati, bagiku Ibu adalah sesosok pejuang dalam keluarga ini, walaupun tanpa ayah yang menemani pahitnya perjuangan menghidupi kedua anaknya. Ibu dengan segenap kesabarannya menjalani hidup, dengan ketabahannya menghadapi ujian dari Tuhan. Kini saatnya kau merasakan kebahagiaan itu Ibu, Aku berjanji untuk menjadi anak yang berbakti selama Aku masih diberikan kesempatan untuk bernapas dan bergerak. Terimakasih Ibu untuk semuanya, ”Okāsan arigatou gozaimasu!.”

***