Laman

Senin, 31 Maret 2014

Hajimemashite!!

Assalamua'laykum wr wb Minna-san.

Udah posting banyak, tapi belum sempet kenalan, hehe.
Okeh, let me introduce myself. Hajimemashite, Iva desu. Temen-temen biasa memanggil saya Iva, atau Ifa. Sebenernya sih nama saya L*blablablaa*, hehe. Ada juga yang manggil saya L (itu sebutan si Reni buat saya). Saya adalah seorang mahasiswa fisika di salah satu Univ Bandung. Beneran fisika? Iyalah, fisika, beneran fisiknya A, haha

Badewey, saya gak sendiri ngurus blog ini (meskipun kebanyakan saya sih yang posting). Saya dibantu oleh Reni Nuraeni. Ngah, siapa tuh Reni? Sebenernya sih saya pertama kali nemuin dia di pinggiran jalanan, terus saya pungut deh dia, haha, nggak deng. Dia itu adalah......... bisa disebut sebagai teman (?). Ah bukan bukan, lebih tepatnya sohib. Saya ketemu dia pas kita duduk di kelas 2 SMA, kebetulan dia itu orangnya nyambung kalo diajak ngobrol, meskipun awal akrabnya agak #gagalnyambung. Terus dia juga suka bantu-bantu nyuci piring, ngepel, nyuci baju dan buang sampah di rumah saya (loh?), jadi saya suka gitu sama dia (?)

Pas naik ke kelas 3 SMA, kita makin lengket ajah kek perangko sama surat (emang iya gituh?). Akan tetapi semua itu berubah ketika negara api menyerang dan Gara kembali menyerang Konohagakure (aish, ngomong apasih). Jadi gini nih, setelah lulus SMA, kami kuliah di Univ yang beda meskipun masih di Bandung, so jarang ketemu. Tapi, kita masih konek-konekan dan ingin mengembangkan hobi baru kami, yaitu menulis (iya, gak sih Ren? Iya dong pasti yah?)

Mudah-mudahan dengan adanya blog ini, kita bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat. Tapi kebanyakan mungkin saya yang kebanyakan curhat :D

Thanks for visiting.
Arigatou gozaimasu ^^

Makhluk GHAIB Debat Gara-gara Pemilu

Oleh  Riki Chan



Alkisah Malam minggu Kliwon di Kuburan 

~Sedang nongkrong Gondoruwo, Kuntilanak dan Pocong~

Gundoruwo : All siapa tuh yang seenaknya aja masang foto ditempat gw?

Kuntilanak : Di tempat dinas aq juga ada foto itu.

Pocong : Foto caleg bro and sist.

Gundoruwo : Maksudnya apa coba?  

Kuntilanak : Hwuhihihihihihi, situh marah karena Calegnya lebih ganteng dari situ ya  
Pocong : Gw ngerti perasaan lu wo, secara masa mereka mau eksis ditempat kita, emang kita mau nyoblos mereka apa?
Gundoruwo : Lah, lu cong bukannya lu milih mereka? Kemarin lu hadir tuh di kampanye mereka. Gw lihat di Blog Ghaib foto lu sama Kunti milih Partai tempat lu kampanye.
Kuntilanak : Iiihhh enggak ya, mereka itu tidak berpriKEHANTUan, padahal kita gak hadir disana ya cong.
Pocong : Iya sist, mereka telah merampas Hak kami, itu melanggar HAH (Hak Asasi Hantu). Orang kita gak Hadir dikampanye tersebut malah dibilang hadir, trus yang GOLPUT masa disamain sama kita sihh... jijayy banget lihat aktivis Pemilu, seenaknya aja mengklaim bangsa kita.

~Tiba-tiba JIN penunggu GOA datang~

Jin : All piye kabar'e ?
Pocong : Kui wong jowo ya jin jowo'e endi ?
Jin : Brebes
Kuntilanak : Huwiwihihihihi ngapain kesini mas?
Jin : Inyong perwakilan dari utusan majelis syuro yang didalamnya terdapat Jin Gunung, Jin Laut Selatan, jin sungai, Jin Hutan belantara, jadi dengan ini kami sepakat dan Mufakat memprotes para CALEG yang meminta pertolongan terhadap kami agar dimenangi dalam pemilu nanti.
Gundoruwo : Lahh kenapa gak lu tolong aja?
Jin : Emang lu kata kita ini anggota KPU yang bisa menggandakan surat suara apa? 
Pocong : Ok guys semua pelanggaran sudah gw catet, kami disini berharap kepada lu Jin sebegai hantu yang dituakan melapor ke Mahkamah Kehantuhan.
Jin : Ok apa saja pelanggarannya?
Pocong : (1) Mereka telah membuat sampah foto mereka dilawasan kita (Kuburan, Pohon, Tiang Listrik dll).(2). Mereka telah Black Kampanye dengan menghadirkan duplikasi kaum kita Pocong dan Kunti. (3). Mereka telah kurang ajar, secara Manusia lebih sempurna dari pada kita, masa manusia yang GOLPUT disamakan dengan kita. Ini melanggar HAH (Hak Asasi Hantu). (4). Mereka telah mengganggu aktifitas kita dengan meminta tolong kepada kita, tanpa bayaran lagi. Udah, untuk sejauh ini itu saja.
Jin : Siip guys.

-End-


"Makhluk Ghaib aja risih masa kita makhluk nyata gak risih dengan sikap mereka"
=========================================

Nemu ini di pesbuk, dan ngakak banget baca nya :D lol.
Setuju banget lah sama akhi Riki.
Hantu aja risih dong gegara kelakuan caleg, apalagi lagi gue lah. Pusing lah denger janji mereka. Realitanya? Nothing. 

Bagaimana menurut kalian?

Oke deh, thanks for viisit. Ariagatou gozaimasu ^^

Minggu, 30 Maret 2014

Aku Menangis untuk Adikku

Penulis : Ratu Karitasurya

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orangtuaku  membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatan membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku  berlutut di depan tembok, dengan sebuah
tongkat bambu di tangannya. 

"Siapa yang mencuri uang itu?" beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi  beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya! "  Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah, sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas. 

Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" 

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." 

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. 

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.   Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik. Hasil yang begitu baik."  Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan  menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" 

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti ayah mesti mengemis di jalanan, ayah akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. 

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak. Aku berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. 

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimmu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. 

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh  dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas.  Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"  Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? 

Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? "  Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. " 

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.  
Kali pertama aku pulang ke rumah setelah menghadiri undangan pernikahan seorang teman, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"  Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada  tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu."
 
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. 

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Seringkali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, dia mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini." 

Saat Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
 
Suatu hari, ketika adikku sedang di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ia mendapat sengatan listrik, lalu masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata. Kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"  Lalu ia berkata, "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. 

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa berpikir, ia menjawab, "Kakak saya."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, sekolah kami ada di dusun yang berbeda. Setiap hari kakak dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya.

Sedangkan ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,  selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." 

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari "I Cried for My Brother Six Times"
_______________
I dont put the source of this short story coz I forget where I've got this. I've just found it from E-Book I downloaded. It's realy good story, I think. So I post it on my blog, then y'all can read it :)

Thanks for visiting.
Arigatou gozaimasu ^^

Minggu, 23 Maret 2014

[LYRICS] Ikimono Gakari - Yell (with English Translation)


Romaji

“’Watashi’ wa ima doko ni aru no” to
Fumishimeta ashiato wo nandomo mitsumekaesu
Kareha wo daki akimeku madobe ni
Kajikanda yubisaki de yume wo egaita

Tsubasa wa aru no ni tobezu ni irun da
Hitori ni naru no ga kowakute tsurakute
Yasashii hidamari ni kata yoseru hibi wo
Koete bokura kodoku na yume e to aruku

Sayonara wa kanashii kotoba ja nai
Sorezore no yume e to bokura wo tsunagu yell
Tomo ni sugoshita hibi wo mune ni idaite
Tobitatsu yo hitori de tsugi no sora e

Bokura wa naze kotae wo asette
Ate no nai kuragari ni jibun wo sagasu no darou
Dareka wo tada omou namida mo
Massugu na egao mo koko ni aru no ni

“Hontou no jibun” wo dareka no kotoba de
Tsukurou koto ni nogarete mayotte
Ari no mama no yowasa to mukiau tsuyosa wo
Tsukami bokura hajimete ashita e to kakeru

Sayonara wo dareka ni tsugeru tabi ni
Bokura mata kawareru tsuyoku nareru kana
Tatoe chigau sora e tobitatou to mo
Todae wa shinai omoi yo ima mo mune ni

Eien nado nai to kizuita toki kara
Waraiatta ano hi mo utaiatta ano hi mo
Tsuyoku fukaku mune ni kizamarete iku
Dakara koso anata wa dakara koso bokura wa
Hoka no dare demo nai dare ni mo makenai
Koe wo agete “watashi” wo ikite iku yo to
Yakusoku shitan da hitori hitori hitotsu hitotsu michi wo eranda

Sayonara wa kanashii kotoba ja nai
Sorezore no yume e to bokura wo tsunagu yell
Itsuka mata meguriau sono toki made
Wasure wa shinai hokori yo tomo yo sora e

Bokura ga wakachiau kotoba ga aru
Kokoro kara kokoro e koe wo tsunagu yell
Tomo ni sugoshita hibi wo mune ni idaite
Tobitatsu yo hitori de tsugi no sora e



English Translation

I look back on the footprint I’ve left again and again
Thinking “Where is ‘me’ now?”
I scooped up the dead leaves in my arms
And drew my dreams on the autumn window with my numb fingertips

I have wings but I can’t fly
I’m afraid of being alone, it’s too painful
We’re leaving behind those days of cuddling in the gentle sun
And walking on to our lonely dreams

Goodbye isn’t a sad word
It’s a yell that connects us to our respective dreams
I’ll hold the days we spent together in my heart
And take off alone to my next sky

Why do we get impatient for an answer
And search for ourselves in darkness so deep that we get lost in it?
When we have the tears and straightforward smiles
Of just loving someone, right here?

When it comes to our real selves, we get off track, get confused
And think it’s made up by other people’s words
We’ll take hold of our natural weakness and the strength to face it
And start running to tomorrow for the first time

Maybe every time we say goodbye to someone
We can change, we can become stronger
Even if we take off to different skies
This love won’t stop, it still remains in my heart

Ever since I realised there’s no such thing as eternity
The day we laughed together, and the day we sang together
Have become strongly, deeply carved into my heart

That’s why you, that’s why we
Aren’t anybody else, can’t be beaten by anyone
We raised our voices and promised that we’d live our lives our way
Each of us chose our own path

Goodbye isn’t a sad word
It’s a yell that connects us to our respective dreams
Until we meet again someday
I won’t forget this pride, my friend, into the sky

We have a word that we share
It’s a yell that connects our voices, one heart to another
I’ll hold the days we spent together in my heart
And take off alone to my next sky

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Well, I’m totally sad when I listen to this song in the first time.
Eventually, I remember the memories with my bestfriends in high school, Reni-chan and Dita-chan.
But, we are seperated now to reach our own dreams, on different path.
I really hope, someday we succeed with our respective dreams and met somewhere always we expect to meet, Japan. Amiin.

Thanks for visit.
Arigatou gozaimasu!!

Minggu, 09 Maret 2014

Lukisan Ibu














By: Renne (Reni Nuraeni)

Terpampang raganya tak nyata
Di balik tinta-tinta berlapiskan warna
Kuas-kuas buatnya menjelma
Lukisan wajah ku kenal jua
Matanya bening meredup sayu
Jilbab terurai bercorak melayu
Gambarkan senyuman menyapa bayu
Meski tak usai parasnya tak pernah layu

Lukisan tua gambarnya menghiasi sudut di ruang tamu
Tak pernah pudar di atas debu
Citraan sukma tenangkan qolbu
Goresan tinta menyemai jua
Mengenang sosok jiwa nan rupa
Sesekali nyata apa di kata
Lukisan ibu di bawah jendela

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hajimemashite, Renne desu. Berhubung saya dan Vaachan lagi kangen sama ibu, jadi saya ingin memposting puisi Lukisan Ibu ini yang masih belepotan. Karya saya sendiri tentunya, Renne alias Reni Nuraeni. Jika ingin copas, harap cantumkan pengarangnya.
Okeh segitu ajah :)

Arigatou Gozaimasu!!